Quantcast
Channel: Puisi-Puisi Indonesia
Viewing all 109 articles
Browse latest View live

Puisi-Puisi Ni Made Purnama Sari *

$
0
0
Kompas, 30 Maret 2014

Kasuari


Seekor kasuari mengembara

pada tahun yang belum selesai disusun
Ruhnya piatu, bagai menyusur rimba raya
mencari bulan yang dulu dikenang
ketika terlahir sendirian, dikepung gigil malam
dan ibu mati diburu


Bertemu ia dengan kuda-kuda

liar berpacu dari sabana Sumba
Derap derunya serupa pakik monyang kami
melawan laju waktu, terasing dari masa lalu
Tak tercatat pada buku-buku sejarah ini


Kasuari merah pualam

pergi ke sungai tanpa muara
Seorang bocah mengurung arus
tawanya nyaring, mengandaikan diri bajak laut
Menyamar ikan-ikan bebatuan
Merompak mimpi segala perahu
yang karam sebelum sampai di Melayu,
Pesisir Madagaskar ataupun tanah janjian nun di mana


Pandang kasuari membayang

betapa ingin mengelana jauh
melampaui lembaran kain tenun
menuju hutan seberang pulau
bersarang di tengah kabut danau
memanggil kerdip bintang dan ruh para monyang
yang tak pernah menjenguknya barang sekali


Demikianlah saban malam

menyusur tenun yang belum usai itu
ia mencari rumah muasal yang dulu
entah di lembah mana, ngarai gunung yang mana


Sementara embun membasuhnya pelan-pelan

serupa air mata para dewata


2014





Aku dan Jiwaku


Aku dan jiwaku
berbaring berdampingan
kami telanjang
Bagai dua kanak remaja
Kami saling tatap
seolah lama tak perjumpa


Ia tampak lebih tua

waktu terlalu lekas baginya
Sedangkan aku serupa dulu
waktu telah lama berhenti
sebab ia bukanlah milikku lagi


Ke mana kau akan pergi

bila akhirnya kita mati?


Jiwaku tersenyum diam-diam

Balik tanya hal sama padaku

Aku mau pergi ke bulan
dipuja penyair dan kekasih malam kasmaran
Atau datang ke lain dunia
jadi tukang pos kesepian
tak jemu mengirim surat untukmu


Aku dan jiwaku

berbaringan berdampingan
menanti pagi datang


Di luar maut menunggu

menyamar hujan semalaman
menyemai mawar-mawar duri
di taman-taman


Di taman-taman



2014



*) Ni Made Purnama Sari lahir dk Klungkung, Bali, 22 Maret 1989. Ia lulusan Jurusan Antropologi Universitas Udayana dan kini melanjutkan studi di Universitas Indonesia. Puisinya antara lain termuat dalam antologi dwibahasa Couleur Femme (2010).

Puisi-Puisi Ibnu Wahyudi

$
0
0
TEKA TEKI

di depanku duduk teka teki
menyantap kopi dan minum nasi
rokok tak dihidupkan
radio tak juga dinyalakan

seperti biasa aku setia menunggu
menikmati misteri dengan gagu
dan pagi terus beranjak
mendaki hari tanpa mengajak
mengulang waktu dengan tanda
hindari enigma dengan tanya

di depanku tinggal kenangan
tanpa kuminta ia bertandang
lalu aku yang terkesiap
sebab lebih sering dalam tak siap

10 Juli 2019



ELEGI ILMUWAN SEJATI
: Sutopo Purwo Nugroho

dari SMP-SMA yang sama
kami tak pernah bersapa
sebab sekian tahun rentangnya
tapi aku mengenal lewat gurunya
yang mengenang kesantunan
dan kerajinan serta pintarnya

bergeming soal keboyolaliannya
ia tunjukkan bahwa dari kota kecil
tak sendirinya jadi orang kecil
dicontohkan melalui lakunya
mendarmabaktikan ilmu
bagi kemaslahatan bersama

tentang mitigasi bencana
tentang sikap yang harus ada
dengan uraian cendekia
yang menangkal ngawurnya warta
dilakukan hampir tanpa jeda
sambil ia sembunyikan derita

bagai bukan orang biasa
dalam serangan kanker paru
ia tangkal penyakit di masyarakat
yang lekas panik atas gempa
atau mudah percaya atas berita
yang banyak tanpa data

Tuhan pasti beri tempat terbaik
mencahayai jalan pulangnya
menyambutnya secara istimewa
lantaran almarhum luar biasa
telah membukakan cakrawala
ihwal fenomena semesta

7 Juli 2019



SEPOTONG AVOKAD

sepotong avokad
telah memberi bahagia
mengalirkan kebersyukuran
sebab kami bisa mencatat
makna mengunduh rasa suka
dari pohon dalam kehidupan
yang tumbuh di sudut halaman
yang kukuh sebagai teman

6 Juli 2019



*Tiga Wanita*

tiga wanita
bersua tanpa rencana
memintal catatan lama
berbagi tawa dan cerita
termasuk membincang negara
lewat kaca mata genial
sebab anasir intelektual
kawani secara integral
tanpa mereka sadari
bukan untuk beradu gengsi

mungkin ada soal domestik
juga jadi gagasan pemantik
menambah suasana riang
tapi bukan untuk berbagi wirang
lantaran tiga wanita ini
amat istimewa tapi nyeni
pun dalam dimensi agama
atau keseharian yang fana
tapi mungkin juga cinta
dikisahkan sambil main mata

4 Juli 2019



Rasa Gersang

rasa gersang yang mulai tumbuh
anggap saja sebagai buluh
biar merindu angin resah
menyintas dengan nada gairah

bukan pasrah sebab kegersangan
tak selayaknya terus dibiarkan
membenih nuansa mual
mengecambah tanpa sesal

kesal di kemudian telah dicatat
pengundang kenangan nan pucat
padahal yang mestinya ditunggu
kilau cahaya yang tak ragu

apalagi gagu

3 Juli 2019



Ketika Kau Kurelakan

ketika kau kurelakan
arungi telaga menyilaukan
seperti yang sering kau pinta
dan berulang jadi petaka
maka pintu lebar kubuka
tiada yang harus dikekang lagi
: tapi kau malah enggan pergi

2 Juli 2019
http://sastra-indonesia.com/2019/07/puisi-puisi-ibnu-wahyudi/

Puisi-Puisi Wiji Thukul

$
0
0
PERINGATAN

Jika rakyat pergi
 
Ketika penguasa pidato
 
Kita harus hati-hati
 
Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi
 
Dan berbisik-bisik
 
Ketika membicarakan masalahnya sendiri 

Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh 

Itu artinya sudah gawat 

Dan bila omongan penguasa
 
Tidak boleh dibantah
 Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
 
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
 
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
 
Maka hanya ada satu kata: lawan!.

1986



SAJAK SUARA 

sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku

suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu : pemberontakan!

sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang merayakan hartamu
ia ingin bicara
mengapa kaukokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?

sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ia yang mengajari aku untuk bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan



BUNGA DAN TEMBOK

Seumpama bunga
 
Kami adalah bunga yang tak
 
Kau hendaki tumbuh 

Engkau lebih suka membangun
 Rumah dan merampas tanah

Seumpama bunga
 
Kami adalah bunga yang tak
 
Kau kehendaki adanya
 
Engkau lebih suka membangun
 Jalan raya dan pagar besi

Seumpama bunga
 
Kami adalah bunga yang
 Dirontokkan di bumi kami sendiri

Jika kami bunga
 
Engkau adalah tembok itu
 
Tapi di tubuh tembok itu
 Telah kami sebar biji-biji

Suatu saat kami akan tumbuh bersama

Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami

Di manapun–tirani harus tumbang!



P E N Y A I R

jika tak ada mesin ketik
aku akan menulis dengan tangan
jika tak ada tinta hitam
aku akan menulis dengan arang
jika tak ada kertas
aku akan menulis pada dinding
jika aku menulis dilarang
aku akan menulis dengan
tetes darah!

sarang jagat teater
19 januari 1988



KEMERDEKAAN  

kemerdekaan
mengajarkan aku berbahasa
membangun kata-kata
dan mengucapkan kepentingan

kemerdekaan
mengajar aku menuntut
dan menulis surat selebaran
kemerdekaanlah
yang membongkar kuburan ketakutan
dan menunjukkan jalan

kemerdekaan
adalah gerakan
yang tak terpatahkan
kemerdekaan
selalu di garis depan*

Solo, 27-12-1988



DERITA SUDAH NAIK SELEHER 

kaulempar aku dalam gelap
hingga hidupku menjadi gelap
kausiksa aku sangat keras
hingga aku makin mengeras
kau paksa aku terus menunduk
tapi keputusan tambah tegak
darah sudah kau teteskan
dari bibirku
luka sudah kau bilurkan
ke sekujur tubuhku
cahaya sudah kau rampas
dari biji mataku
derita sudah naik seleher
kau
menindas
sampai
di luar batas

17 November 96



TUJUAN KITA SATU IBU 

kutundukkan kepalaku, 
bersama rakyatmu yang berkabung 
bagimu yang bertahan di hutan 
dan terbunuh di gunung 
di timur sana
di hati rakyatmu, 
tersebut namamu selalu 
di hatiku 
aku penyair mendirikan tugu 
meneruskan pekik salammu 
"a luta continua."

kutundukkan kepalaku 
kepadamu kawan yang dijebloskan
ke penjara negara
hormatku untuk kalian
sangat dalam
karena kalian lolos dan lulus ujian
ujian pertama yang mengguncangkan

kutundukkan kepalaku
kepadamu ibu-bu
hukum yang bisu
telah merampas hak anakmu

tapi bukan hanya anakmu ibu
yang diburu dianiaya difitnah
dan diadili di pengadilan yang tidak adil ini
karena itu aku pun anakmu
karena aku ditindas
sama seperti anakmu

kita tidak sendirian 
kita satu jalan 
tujuan kita satu ibu:pembebasan!

kutundukkan kepalaku 
kepada semua kalian para korban 
sebab hanya kepadamu kepalaku tunduk 

kepada penindas 
tak pernah aku membungkuk 
aku selalu tegak

4 Juli 1997



UCAPKAN KATA-KATAMU 

jika kau tak sanggup lagi bertanya
kau akan ditenggelamkan keputusan-keputusan

jika kau tahan kata-katamu
mulutmu tak bisa mengucapkan apa maumu
terampas

kau akan diperlakukan seperti batu
dibuang dipungut
atau dicabut seperti rumput

atau menganga
diisi apa saja menerima
tak bisa ambil bagian

jika kau tak berani lagi bertanya 
kita akan jadi korban keputusan-keputusan
jangan kau penjarakan ucapanmu

jika kau menghamba kepada ketakutan
kita memperpanjang barisan perbudakan

kemasan-kentingan-sorogenen.



AKU MASIH UTUH DAN KATA-KATA BELUM BINASA 

ku bukan artis pembuat berita
Tapi aku memang selalu kabar buruk buat penguasa

Puisiku bukan puisi
Tapi kata-kata gelap
Yang berkeringat dan berdesakan mencari jalan
Ia  tak mati-mati, meski bola mataku diganti
Ia tak mati-mati, meski bercerai dengan rumah
Ditusuk-tusuk sepi, ia tak mati-mati
telah kubayar yang dia minta
umur-tenaga-luka

Kata-kata itu selalu menagih
Padaku ia selalu berkata, kau masih hidup

Aku memang masih utuh
dan kata-kata belum binasa

18 juni 1997

Puisi-Puisi A. Mustofa Bisri

$
0
0
Ibu

Kaulah gua teduh
tempatku bertapa bersamamu

Sekian lama
Kaulah kawah
dari mana aku meluncur dengan perkasa

Kaulah bumi
yang tergelar lembut bagiku
melepas lelah dan nestapa

gunung yang menjaga mimpiku
siang dan malam
mata air yang tak brenti mengalir
membasahi dahagaku
telaga tempatku bermain
berenang dan menyelam

Kaulah, ibu, laut dan langit
yang menjaga lurus horisonku

Kaulah, ibu, mentari dan rembulan
yang mengawal perjalananku
mencari jejak sorga
di telapak kakimu


(Tuhan,
aku bersaksi
ibuku telah melaksanakan amantMu
menyampaikan kasihsayangMu
maka kasihilah ibuku
seperti Kau mengasihi
kekasih-kekasihMu
Amin).

1414



Nazar Ibu di Karbala

pantulan mentari
senja dari kubah keemasan
mesjid dan makam sang cucu nabi
makin melembut
pada genangan
airmata ibu tua
bergulir-gulir
berkilat-kilat
seolah dijaga pelupuk
agar tak jatuh
indah warnanya
menghibur bocah berkaki satu
dalam gendongannya
tapi jatuh juga akhirnya
manik-manik bening berkilauan
menitik pecah
pada pipi manis kemerahan
puteranya

"ibu menangis ya, kenapa?"
meski kehilangan satu kaki
bukankah ananda selamat kini
seperti yang ibu pinta?"

"airmata bahagia, anakku
kerna permohonan kita dikabulkan
kita ziarah kemari hari ini
memenuhi nazar ibumu."

cahaya lembut masih memantul-mantul
dari kedua matanya
ketika sang ibu tiba-tiba brenti
berdiri tegak di pintu makam
menggumamkan salam:

"assalamu 'alaika ya sibtha rasulillah
salam bagimu, wahai cucu rasul
salam bagimu, wahai permata zahra."

lalu dengan permatanya sendiri
dalam gendongannya
hati-hati maju selangkah-selangkah
menyibak para peziarah
yang begitu meriah

disentuhnya dinding makam seperti tak sengaja
dan pelan-pelan dihadapkannya wajahnya ke kiblat
membisik munajat:

"terimakasih, tuhanku
dalam galau perang yang tak menentu
engkau hanya mengujiku
sebatas ketahananku
engkau hanya mengambil suami
gubuk kami
dan sebelah kaki
anakku
tak seberapa
dibanding cobamu
terhadap cucu rasulmu ini
engkau masih menjaga
kejernihan pikiran
dan kebeningan hati
tuhan,
kalau aku boleh meminta ganti
gantilah suami, gubuk, dan kaki anakku
dengan kepasrahan yang utuh
dan semangat yang penuh
untuk terus melangkah
pada jalan lurusmu
dan sadarkanlah manusia
agar tak terus menumpahkan darah
mereka sendiri sia-sia
tuhan,
inilah nazarku
terimalah."

Karbala, 1409



Cinta Ibu

Seorang ibu mendekap anaknya yang
durhaka saat sekarat
airmatanya menetes-netes di wajah yang
gelap dan pucat
anaknya yang sejak di rahim diharap-
harapkan menjadi cahaya
setidaknya dalam dirinya
dan berkata anakku jangan risaukan dosa-
dosamu kepadaku
sebutlah namaNya, sebutlah namaNya.

Dari mulut si anak yang gelepotan lumpur
dan darah
terdengar desis mirip upaya sia-sia
sebelum semuanya terpaku
kaku.

https://www.nu.or.id/post/read/101867/puisi-puisi-ibu-kh-a-mustofa-bisri-dan-kh-d-zawawi-imron

Puisi-Puisi Rakai Lukman

$
0
0
OLAM HABA (Masa Mendatang)

Datanglah kalpa
Semesta gunda-gulana
Pemanggil aion
Siklus berbenturan

Musim dingin sekian ribu
Matahari murung
Waktu pendek kian cepat
Bergulir tanah retak
Tanaman tanpa benih
Kita rayakan penipuan
Miskin syukur kerap dengkur

Tibalah kalpa
Penggembala tanpa alas kaki
Membangun gedung Julang gunung
Ular-ular besi menjalar hilir-mudik
Sungai-sungai batu tak bermuara
Sarang laba-laba raksasa mengeram leher
Lautpun hitam kelam sarat limbah

Keimanan di simpang jalan
Awan muram menggurat langit kelam
Hujan membawa bison bertanduk besar
Menghujam seantero jagat
Banjir bandang juga badai api
Penuh bara fitnah pun malhamah

Inikah kalpa
Bintang biru pengguncang alam raya
Pemanggil siul sangkakala black hole
Bangsa-bangsa serangga
Kera bertameng besi bersandal bulu
Saling berang menista moral
Penyeru matahari ufuk barat

Al-Masih di menara putih
Pelebur Dajjal beserta sekutu
Al-mahdi berseru serupa Nabi
Pelenyap dabbal ard bercincin Sulaiman
Bertongkat Musa
Pasukan penyerang bakkah dilahap gurun
Angin lembut pun membawa jiwa pasrah

Lahirlah kalpa
Suara dari debu
Tiupan pertama porak-poranda
Tiup kedua kebangkitan
Ribuan tahun dinaung matahari di ubun
Sekujur tubuh gigil ditelan keringat

Di sirat menyebrang rambut di belah tujuh
Di Mizan upacara penghakiman digelar
Bangsa semurni kristal disayang Eden
Bangsa sekelam batu durjana
Dilumat api bahan bakar kayu
Dididih minyak ditindih dukaduka

Olam Haba
Penuntas ciptaan
Rinduku
Jiwa murni
Semesta raya
Keabadian

Gresik, 26 Agustus 2019



BACALAH !

Bacalah buku
sebelum membaca ditertawakan
Bacalah status
sebelum membaca dikultuskan
Bacalah berita
sebelum membaca dihoakkan
Bacalah dongeng
sebelum membaca dimitoskan
Bacalah sejarah
sebelum membaca dibengkokkan
Bacalah kitab suci
sebelum membaca diacuhkan
Bacalah kauniyah
sebelum membaca dikerdilkan

Bacalah atas nama
sebelum sifat dilabelkan
Bacalah sebelum berkaca-kata
Bacalah hati sebelum pikiran
Bacalah pekerti selepas kearifan
Bacalah kearifan lantas budi-luhurkan
Bacalah kemuliaan
Bacalah segala puji segala tasbih
Seisi langit seisi bumi
bacalah seisi kehendak

Bacalah deru angin
Bacalah derap ingin
Bacalah irama qudrah
Bacalah berkali-berhari
Hingga lepas segala tafsir
lenyap segala paham
Bacalah karya Tuhanmu
meski itu kesementaraan
Bacalah segala perantara
Bacalah segala yang mengantar
Segala getar
Segala detak
Segala gemeretak
gemericik darah
ricik keringat
rintik air mata
gelegar tawa

Bacalah lantas tersenyumlah
kembali bacalah
lalu merunduk
tunduk
pasrah
bacalah
berserahlah
Salamah dunya
Salamah ukhra
Bacalah fi Silmi Kaffa

Bismillah

Dukun, Maret 2018.



Penghayat Nebula 1

Nebula bertabur di kelopak kening malamku
Adakah berkenan menggendong
Menimang penuh manja
Berayun bersama gugusan nasib
Bayi-bayi yang subuh tadi mekar berdenyar
yang meramu fajar pancawarna
Yang berembun di ubun-ubun jagat raya

Nebula orion memadu kasih
Meramu tetembang Sangkan Paran
Dirapal malam keramat yang lamat
digelayut takdir almanak musim
Lesatlah ribuan kubik cahaya pelangi
Yang mencelup kening pada telaga pancadriya

Kabut penuh plasma suksma
Rahsa bergelantungan di langit-langit impian
Hujanlah penuntun kegersangan mayapada
Benihbenih gemintang tumbuh di lekuk fajar
Doa bertemu mantra penentram kosmos

Nebula kehadiran
Senyap penuntun diacuh naluri hingar-bingar
Lampu-lampu tipu daya ketakberdayaan
Waktu berotasi pada noktah kepingan debu
yang kepalang dikubur hasrat perguliran rotasi

Matahari matabatin waktu
Nebula menjelajah genangan pitutur
dipeluk bantala, bayu, agni dan samudera
Sujud pasrah di haribaan
kembali
Kembalilah
Nebula memanggilmu pulang
Menemui sunyi yang belum kau tuai

Dukun 2019

Puisi-Puisi Deni Jazuli

$
0
0
SERAT SESAJI SUCI
(Ubo Rampe Sesaji Suci)

Bab I SANGKAN

I. BANYU SUCI WINADAHAN KENDI
 (Air suci dalam kendi)

Duk arikala
Jagad masih awang uwung
Tidak ada apa apa..
Tak ada apa apapun yang hidup
Dalam heningan agung.
Kosong..
Suwung..
Yang ada hanya Dia
Dalam kegaibannya yang gaib.
Hununung
Hanining
Haninung
Hanya dia yg mampu menceritakannya sendiri
Laksana air dalam kendi..
disinilah sabda bermula..



II. MORI CEMENG
  (Kain Hitam)

Awalnya
gaib yang abadi.
Bertahta dalam dirinya sendiri
Dalam kekosongan agung
Berpendar bulir cahaya
Penghulunya semesta
Seketika terang tanpa ada yg melihatnya..
Selain dia sendiri.
Lalu getaran suara.
Belum pula bermula aksara.
Hanya suara sabda pertama.
Jadilah...
Terhampar ruang...
Berbalut waktu...
Terbentang jagad raya
Berdenyut unsur kemurnian
Angni bayu tirta bantala
Membeku jadi
debu debu
Udara udara
Api api
Angin angin
Warna warna
Bentuk bentuk
Pola pola
Tekstur tekstur.
Serat serat
Kulit kulit
Telinga telinga
Mata mata
Hidung hidung
Tangan tangan
Kalbu kalbu..
Berserak  berputar
Menari
Bergoyang
Merayap
Merangkak
Berjalan
Menyelam
Terbang
Jatuh
mendaki lagi..
Menyatu..
Menjadi apa yg dikehendaki.



III. JANUR KUNING

Setiap kemulyaan
adalah milikku.
Aku bernama atas semua kumulyaan.
Tak terukur semua kebaikan
jadi kebesaran namaku.
Setiap keindahan
adalah punyaku..
Aku bernama atas semua keindahan
Tak terkira semua keindahan
Jadi keindahan namaku.
Setiap kesempurnaan
adalah milikku
Aku bernama atas semua kesempurnaan.
Tak tergambar kesempurnaanku
Jadilah sempurna nama namaku.
Setiap kuasa
adalah punyaku
Aku bernama atas segala kuasa.
Tak terperi semua kekuasaanku.
jadilah aku penguasa atas setiap kuasa.
Jadilah...
semua yang ada
menjadi namaku
Sebab
semua milik,milikku sendiri..
semua kuasa kuasaku sendiri.
Semua kemulyaan kemulyaanku sendiri.
Semua keindahan keindahanku sendiri.
Semua kesempurnaan kesempurnaanku sendiri.
Akulah Nur atas segala cahaya
Bersabda atas semua nama namaku.
Jadilah...
Maka jadi..



IV. DAMAR KAMBANG

Kemudian sabda berdaya
Cahaya kecil kecil berterbangan..
Laksana gemintang
Berpendar berputar
Ruh ruh
Hidupnya hidup
Hidup yg lestari
Mengambang diatas air.
Terang berbinar.
Memberi kehidupan.
Nyala satu pecah jadi sepuluh
Seratus,seribu,sejuta,milyar ,trilyunan
Tak lagi terhitung.
Mengembara dibelantara raya.
Menyu?ut rasa karsa.
Kehendak mencipta.
Hingga pupus.
Tumbang wadah yang merengkuhnya.
Hidup tetap hidup..
Mengembara menuju yang memberi hidup.



V. KUPAT LEPET

Aku bersabda
pada malaikat malaikat
akan kuciptakan kekasihku.
Yang akan mengatur bumi.
Sebab Bumi telah sempurna.
Telah pula kurajah dengan darah.
Kutumbali dengan tubuh Balujan Walujan

Bergetarlah hati para malaikat.
Selaksa gelisah menderanya.
berdukat dukat sangkal
Berkati kati kenangan luka.
Atas segala kerusakan
Atas darah...
Atas Sengsara..
Berdentam ragu.
Mengelegar halilintar.
Pecah semesta.
Dalam hiruk pikuk tanya.

tanyakan pada semesta...
Siapa yang mau kuambil darinya
Untuk kujadikan bahan baku kekasihku.
Kali ini tak ada yang beranjak.
Semua terpaku dalam ketakutan.
Sekali lagi semesta berguncang..

Tanyakan pada Bumi..
Apakah bersedia...
Bumi yang selalu menerima apapun.
kali ini pun bersedia diambil darinya.
Untuk di jadikan adonan mencipta manusia.

Aku ciptakan Adam tanpa bapak.
Sebab ia yang akan menjadi bapak dari semua manusia.
Aku ajarkan padanya semua nama nama.
Aku ciptakan Hawa tanpa ibu.
Sebab dia yang akan jadi ibu dari semua manusia.
Semesta bersujudlah padanya..atas perintahku.
Hingga saat yang kupastikan
Kau akan mengatur Bumi.

Aku tuliskan juga..
Segalah resahmu,
hasrat
dan syahwatmu
atas keabadian..
Kehendakmu untuk terus berdiam disurgaku.
Hingga lupa akan tujuan
Penciptaanmu.

Aku tuliskan juga..
takdir takdirmu.
Aku tahu
karena cintaku..
ku izinkan
kau berangkul duka berpeluk nestapa..
Sebab
untuk kembali padaku..
Kau harus jadi hambaku yang sempurna.

Demikianlah asal semua kisah bermula.

_______________
Deni Jazuli, dilahirkan di tlatah timur utara Jawa, tepatnya di pesisir Lamongan, 28 Januari 1980, hari senin pon dari rahim ibunya Hj. Chilmiyatin. Dididik oleh keluarga nelayan sederhana, yang masa kecilnya dihabiskan bermain di pinggir pantai, usia 12 tahun dititipkan mondok oleh bapaknya Haji Sa’roni di pesantren Maskumambang Dukun Gresik selama 6 tahun. Di samping mondok juga belajar pada pamannya Syaiful Hadi tentang dasar-dasar Kapitayan, sehingga di usia remaja sudah terbiasa melakukan samadi untuk memohon pepadang kepada Hyang Maha Suci, dikemudian hari ditekuninya di Padepokan Kawruh Sadulur Sejati dibawa penuntun spiritual bopo Saprowi Suryaatmaja.

Seusai tamat jenjang pendidikan Aliyah, dia melanjutkan kuliah di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta 1999. Di kota pelajar inilah dia menggandrungi dunia kesenian dan kebudayaan, ditempah di Sanggar Nuun Fakultas Adab, dimana minat keseniannya mulai terarah. Mengikuti beberapa produksi teater Sanggar Nuun di antaranya : Study Pentas, tahun 2000. Berjalan di Persinggahan (Jogja-Surabaya-Malang) 2001. Detak Diharibaan (Jogja-Bandung-Jakarta) 2002. Tek Tok Lesung (Jogjakarta) 2004. Produksi Musik : Menggapai Cahaya Ilahi (Jogja), Islamic Art Colaborasi (Jogja), Selamat Datang Keresahan (Jogjakarta), Witir Selo Merapi (Jogjakarta-Pamekasan).

Setamat kuliah di Jogjakarta (2006), Menikah dengan gadis Parahiyangan dan menetap di Bandung, di sana aktif membantu istrinya (mantan istri) mengelolah sanggar seni tari Dewi Rengganis. Di tahun 2015, pulang kembali ke jawa, dan bekerja sebagai nelayan di pesisir pantura Lamongan, selama dua tahun lebih sempat fakum dari dunia kesenian, hanya berguru pada guru yang mengajarkan wirid, wifiq dan mendirikan Langgar Budaya Thibbul Qulub di Desa Campurejo, Gresik. Hingga suatu saat bertemu adik angkatan di sanggar Nuun Jogjakarta dan bersama berkarya di Sanggar Anak Laut (SAUT), kemudian ditunjuk untuk mendampingi Teater Ilat IAI TABAH Lamongan sebagai pendamping dan berproses hingga menelurkan karya Produksi Teater Mega Bukit (Lamongan-Gresik). Dewi Sekardadu, Bahterah Cahaya (Lamongan), dan bersama rekan-rekan seniman pantura Lamongan membidani lahirnya Rumah Budaya Pantura.

Awal perkenalan dengan teman-teman seniman Gresik yang tergabung dalam Komunitas KOTASEGER, membuatnya berproses di antaranya produksi Teater Risalah Tujuh Bukit (Gresik-Surabaya) yang merupakan hasil dialog kegelisahan yang diutarakannya di Warung kopi di pinggir pantai. Berproses juga dalam produksi teater Ngelmu Ngalip (Gresik). Sekarang dia tinggal di pesisir Lamongan bersama buah hatinya Ifeginia Tribuana Tungga Dewi, sebagai nelayan, berkesenian dan mendidik putrinya, sambil mengelola sanggar kecil di tlatah Ujung pangkah yang didirikannya bersama rekan seniman pesisir gresik, Sanggar Pasir namanya. Saat kini mencoba menulis dan mengumpulkan karya puisi dari putrinya, Kidung Angin dan Tarian ombak. Serat Sesaji Suci adalah antologi puisi yang sedang ditulisnya. Dan membantu putrinya menyelesaikan antologi puisi Canting si Penari.

Bermukim di Desa Weru Kecamatan Paciran Lamongan, juga di Sanggar Pasir dengan alamat Mulyosari, Banyuurip, Ujung Pangkah, Gresik Jawa Timur. WA: 081370532378 Fb: Deny Jazuly Youtube: Larung Sastra Budaya Pantura. Blogger Sanggar Pasir (denijazuli1@gmail). No Rekening : Deni jazuli SHI BRI 6300-01-005226-50-6

Puisi-Puisi Kurnia Effendi

$
0
0
Kompas, 8 Sep 2018

Di Bawah Bayang-bayang Jokpin

Aku dan bayang-bayang berjanji
Untuk tidak saling membayangi

Pada malam pekat aku berlari cepat
Menyeberangi mimpi ke tepi pagi
Bernaung bayang-bayang gedung
Kunanti matahari melewati jalusi

Aku dan bayang-bayang akan bersulang
Mencari waktu untuk saling menghilang

Saat matahari mencapai titik kulminasi
Aku menari-nari tanpa mengangkat kaki
Bayanganku kecewa ditipu arah cahaya
Kusembunyikan di bawah telapak kaki

Bayang-bayang pun menghampiri petang
Sejak itu aku tak lagi bisa dipandang orang

Jakarta, 2018



Testamen Afrizal, Secangkir yang Lalu

Pagi meledak sebelum pukul dua. Pagi yang kutunggu sejak halaman pertama. Sebuah lagu lama terlunta. Kusebut nama ibu dengan bibir membeku. Jauh aku dibawa kelu, radio yang menyiarkan almarhum biduan tanpa lagu baru.

Kuraba Rabu, secangkir yang lalu. Kegelisahan kusimpan dalam cermin waktu, tumbuh seperti kuping terwelu. Bau kopi melucuti pagi yang melangkah telanjang dengan bom sebelum pukul dua. Tidak ada yang bunuh diri seperti yang sering kualami.

Kutulis Kamis sebagai testamen. Ibu adalah pewaris tunggal kecemasanku. Risau yang memilih hari libur tanpa matahari. Di sebuah toserba kucari makanan kaleng dan banyak minuman. Hari-hari akan menyenangkan sebelum menemukan kematian.

Di kamar dingin penuh debu, secangkir yang lalu. Aku menjadi piatu dalam berita koran maya. Kuingat seseorang membakar testamen. Kuterbitkan pesan sebelum pagi lantak. Kesempatan kutunggu di laci Ibu. Rumah batu yang ditemani tumpukan abu. Di luar rencana, aku sudah jadi piatu. Sekali lagi sebuah lagu lama dari almarhum biduan, giat menumbuhkan pagi baru.

Jakarta, 2018



Kehilangan Mantra Sutardji

Mantra yang mengucap dirinya, di luar
lidah dan geligimu:

Tak ada lagi batas antara tanah dan
air, kata dan syair, pisau dan luka, jerit
dan darah, cakar dan kucing, cinta dan
berahi, pemuda dan telur, amuk dan kapak!

Blues yang terlepas dari harmonika,
mencari-cari improvisasi.

Gairah tauhid mengalirkan listrik pada
tubuhmu. Alifbata membubung melampaui
sumber hujan. Alifbata menggali kubur
hingga ke titik hancur. Alifbata memasang
perangkap di gua-gua keramat. Dari aorta:
darah dan doa terus menyembur.

O, mantra merapal dirinya, menghapus
seluruh permohonan. Mengeja dari kanan ke kiri.
Dan satu demi satu huruf gugur

Jakarta, 2018



Makan Malam Bersama GM

Pada pokok malam, hanya pokok malam
Menu diantar sepasang peri
Di tilam oval tampak daging memar
Ditabur irisan seledri

Denting pisau dan garpu kami, serupa
bunyi pedang pada sebuah laga anggar
Waktu – sesuai konvensi – perlahan melebar
Di celah itu: alunan piano menawarkan komposisi

Di sini, hanya terjadi di sini
Kastanya tampak menyala, meminjam
kilau tembaga. Wajah yang memerah
bagai menyimpan hangat sekam
Asmara yang senantiasa tertunda

Mari menghitung sisa hari
Sebelum perang saudara terjadi
Hati sudah hangus di sana-sini, tak mempan
dibasuh anggur dari botol gelap ini

Jakarta, 2018



Agama Marhalim dalam Kitab Zaini

Percayakan saja peristiwa pada waktu.
Biarkan iman yang mengatur tingkah laku.
Burung berciap saat kelelawar pulang ke dahan.
Tubuh malam bersujud, ketika
raga siang menjadi petualang

Beri kesempatan sesajian melakukan
upacara: mengembuskan aroma cinta,
memanjakan lidah dan langit-langit,
merayakan keluasan lambung, dan
mengakhiri perjalanan dari lubang anus.
Tiga kali sehari, tak hanya kopi
dan gulai rempah wangi.

Membiarkan rantai kehidupan melingkar
tak henti-henti, adalah kewajiban.
Dia kumangsa, lalu kau memangsaku,
sebelum dikerkah sang maha-pemangsa.
Ritual harus kita lalui dengan takzim.

Dosa adalah memuja kecantikan tanpa
menjamahnya. Dosa adalah menghimpun
puisi tanpa membacakannya. Dosa adalah
menampung tragedi untuk diri sendiri.
Dosa adalah membiarkan separuh khuldi
membusuk di altar sunyi.

Beri anak-anakmu nama dengan
bahasa yang kaupahami. Seperti aku
memanggil anak-anakku dengan
diksi dan nubuat yang aku ciptakan.

Jakarta, 2018



Kepada Indriyana, Pemilik Hasta

Di piring sarapan pagi, ada aroma
telur yang ditumis dengan setengah api.
Sebetulnya, yang memberi manis kopi
adalah senyum sisa mimpi.

Apakah tanganmu yang mengolah
puisi dalam kuali ini?
Majas itu kemangi, ketumbar, dan
pecahan kemiri.

Malam ini mungkin tersaji jajanan
terang bulan. Kisah pisang dan daun
pandan. Sambil memperpanjang dolanan,
serabi dituangi gurih santan.

Tak usah begadang, ujar lentera
di jantung malam. Biarkan usus dan
pankreas istirah. Air bening mencuci
mulut dan kening, sebelum tidur hening.

Jakarta, 2018



Tegar nan Aluih

Seorang ayah mampu berpura-pura jadi gunung karang.
Membisu di tengah gosip ombak yang rambutnya
menampar-nampar seperti ujung cemeti.

Namun ia selalu kalah oleh kabar:
Dendang yang jauh dari tetabuhan berbaring
dalam demam. Panas meninggi melampaui
buih ampas pagi.

Jarak ditisik menjadi doa yang didaras siang dan malam.
Gugus hutan Bukit Barisan lepuh oleh alunan saluang.
Mantra yang melata mencari tikar di rumah gadang.
Sebelum tegak mendaki dengan kepak sayap burung balam.

Seorang ayah rela menghimpun dongeng pada
ceruk tangan yang gemetar. Sejauh ia mengembara,
jiwanya terikat pada manis sari buah yang ditanamnya.
“Aku akan pulang setiap engkau memanggilku, Nak.”

Sebab ia selalu galau oleh desau:
Lirih tajali dan ayat yang lolos dari surau.
Menghampiri kening gunung yang risau.

Jakarta, 2018



Mata Air Wisatsana

Sampailah kita di gerbang candi, sebelum waktu mati
Pada halaman batu merah kusam darah ini:
Setanggi di lingkar piring, sesaji telah mengering
Doa kita diraih tangan dewata dari celah awan
Bacalah puisi di sini dengan permainan bunyi, sepanjang pagi
Suaramu akan tergenang bagai sebuah upacara kuningan

Kepada siapa aku bertanya ketika jawaban tak tersedia?

Lupakan amsal yang tersisa di museum, ketika kepala
sebuah arca terpenggal dan tak mau lagi bercerita
Lupakan seluruh muasal, karena darinya kita hanya
mampu menyesal. Bukankah hidup selalu mendua?
Di kiri dan kanan terdapat ribuan pilihan
Kegelapan yang memiliki jalan atau terang
yang senantiasa menipu langkahmu

Membiarkan air membuncah tanpa ingin menadah,
semata dosa. Sebab kenangan tak mungkin ditulis ulang

Wahai sahaja yang mengendap pada dasar cangkir kopi
semalam, melahirkan banyak tera dan bayang
Di dinding-dinding perjalanan, di jejak-jejak pengembaraan
Seturut usia mencapai ambang petang, sebagaimana yang
dituturkan berkali kepada penghuni surga

Mengapa harus mencari ritus bila ingin jadi manusia kudus?
Relakan nujuman masa lalu menunaikan pesan
: Air terus mengalir dari mata yang tak lelah memecah rahasia

Bandung, 2018

Kurnia Effendi telah menerbitkan 22 buku, empat di antaranya kumpulan puisi: Kartunama Putih (1997), Mendaras Cahaya (2012), Senarai Persinggahan (2016), Hujan Kopi dan Ciuman (2017).
https://puisikompas.wordpress.com/2018/09/08/puisi-kurnia-effendi/

Puisi-Puisi Taufiq Wr. Hidayat

$
0
0
SENJAKALA PARA PEMUJA

Dari balik ruang pada tahun-tahun yang sisa, laut menegaskan panggilan jauh seperti kesepian. Orang-orang berkerumun di tepi meja perjamuan, tak ingin disapa kala perjalanan usia. Sayap-sayap bergemetar, selampau lena mendera berderas-kemas pada batas yang melampau keras. Pesta bulan diselenggarakan dalam bangunan tua dengan tarian, pemujaan-pemujaan dan air mata di mangkuk cahaya, darah dan daging berbusuk puja, bergema menggagah abad-abad menggetar bersama golak bergelegar. Mereka bercanda bersama derita.

2009



PANGGILAN

“Waktu sudah petang, anakku,” panggil seorang ibu.
Sang anak bermain,
Mengejar bola seperti waktu.
Pelan-pelan langit kesumba, turun senjakala,
Angin berdesing.

“Bergegaslah pulang pada ibu,” panggil ibunya.
Sang anak menoleh tangkas,
Namun ia tak mendapati sang ibu.
Hanya angin berpelan hembusan
Seperti kesepian yang panjang.

Malam menjelma ke dalam semesta.

2009



MIMPI

Yang tertatih telah tua, wajahnya berkerut pada rumputan
Kakinya bergetar.

Melampau waktu kijang yang gesit,
Bersijingkat di tanah datar, natap tajam berserasa cerita
Pada sebentuk pertemuan kelam
Menderai kerindun.

Matahari yang itu-itu saja
Masih menyaksi sebuah jalan-jalan luka.

Muncar, 2009



MENUJU SAMUDERA

Jarum-jarum arloji berguguran,
Pada musim hujan yang tak pasti.
Bulan ini, para pedagang ikan mengenakan
Jaket hitam di pasar ramai.

Tepian laut yang amis, ikan-ikan disiram hujan,
Ada ketidakberhinggaan diam-diam mengamat pasar.
Matamu tepaku pada ikan-ikan mati. Di situ
Anak dan cucumu dibesarkan gelombang.
Seekor ikan meledak di tengah jalan, orang-orang meramu rindu
Pada waktu yang berguguran dengan pasrah.

Laut berderu, berguruh langit senjakala.
Tahun ini gerimis begitu kurang,
Menghantam diam pada karang.
Kalian masih mengeja kecemasan,
Menyusupkan debu bergagah kata, mengurai makna yang luka.

Pada laut sepi, perahu-perahu tambat,
Orang-orang pulang di senjakala yang gamang.
Ikan-ikan didasarkan, beramis hidup menggairah,
Tapi masih berbenam dalam galau kata.

Ke mana Tuan akan berlayar?
Dipecah sunyi dengan segelas kopi,
Di mana hujan masih kembara.

Dari perkampungan di luar datang, pasar menjual ikan dan wortel,
Bayam dan kentang. Tuan menyiapkan sebentuk persembahan,
Bagi laut saat pantai masih memendam keengganan.
Dinding-dinding tua, malam turun pada tiap harap yang sidekap.
Kapal Tuan mengambang di tepian,
Di ditu jauh, gelombang membawakan jarum-jarum arloji
Gemetar hati.

Ke laut tak berpantau hingga,
Sekeranjang wortel masih dingin,
Di tengah pasar yang mulai ramai kembali.
Para pedagang menimbang gamang,
Dan embun membasah pada jendela kantor pemerintah.
Kantor urusan pelabuhan peninggalan Belanda,
Meja-meja berdebu, jendelanya basah dengan lara.

Kapan pulang, Tuan?
Jangan bertanya pulang
Sebab kepergian tak menjanjikan datang.

Hujan jatuh di atas samudera,
Senjakala tenggelam, petang berdatang.
Jaket hitam, celana hitam, selimut hitam,
Topi hitam, tatapan yang hitam.
Kapal kayu, mesin tua, kemudi renta,
Ruang tidur yang kosong, mata kail sepi.
Sebentar lagi ada panggilan laut,
Turun hujan pada lelampu redup.
Berharap cuaca, menunggu bulan dan tata bintang.
Berlayar dengan sepi. Atau dengan pengikut,
Yang jiwanya berlobang tak turut,
Karena samudera tanpa dinding tanpa tebing.

Samudera berluas,
Berlepas.
Maka segala beban kandas.
Segenap wajah hanya malang,
Setiap desah itu serah,
Tiap harap.
Gelap.

Tak mengaduh berkeluh darat,
Samudera ikan-ikan,
Kapal karam ke dasar ketakberhinggaan
Ke lubuk samudera,
Berlapang
Tenang
Pulang
Ke
Dalam

Muncar, 2009



PELABUHAN TUA

Minyak dari tubuh Lemuru, berserak di jalan separuh aspalan.
Bumi padat. Diding tua warisan Belanda,
Beranda malam dan angin yang kejam.

Orang-orang bergumul dengan waktu,
Pada remang bergamang.

Kapal-kapal sandar, lelampu terus menyala seperti lelah.
Seorang penjaga kantor pemerintah
Melepas asap dari hidungnya,
Bertidur di lantai amis,
Dan malam terus berdiam dalam sapu tangan,
Rembulan kapar,
Pada ruang yang lapar.

Muncar, 2009



RUANG TIGA

Ruang tak menemukan pasar; wortel dan bayam. Tawa-tawa liar, bau kaporit yang nyengat. Orang-orang dikumpul cinta yang diam-diam menyerbak dari sisa makanan tadi malam. Aku tiba-tiba menjelma laut, memenuhi ruang. Orang-orang naik perahu sambil bercanda bersama duka. Di kedalaman cintamu yang agung, aku bercekung mencipta lubuk. Lubuk kedalaman. Kedalaman tenang, duka suka tidak merasa. Baiklah akan mereka mulai dari mana perjalanan samudera ruang. Tak ada sabda. Dari yang abadi berlayar pada keabadian.

Rogojampi, 2009



PARA PENUNGGU KERETA

Inilah perjalanan yang menggetarkan, langit dan lautan, budak waktu dan kesunyian. Di tengah kehendak ruang, orang-orang menyiapkan perbekalan, ransel besar dan berat, sepatu dan jaket hitam yang tebal. Dan terus melintas pada tiap batas yang tak pernah menegas.

Kota-kota diserbu kecemasan. Ribuan gajah memasuki kota, bergerak maju entah ke mana tuju-maksudnya. Toko-toko ditabrak, rumah-rumah dilantakkan, semua diratakan. Lalu ribuan gajah menghilang tiba-tiba, yang tersisa adalah sunyi dan puing-puing berleleran tak tertata. Orang-orang mematung, wajahnya dingin menunggu. Stasiun kereta api sepi. Bangku-bangku biru. Jam tua mendetakkan detik-detik yang lelah. Kisah para penunggu kereta, berabad sunyi memecahkan jendela-jendela.

Sebuah pintu model kolonial berdiri di depan tatapan, surat-surat perjalanan tertumpuk di dalam laci di kepalamu. Orang-orang cemas mengharap keajaiban, dan waktu mencair ke tempat-tempat yang tak dimengerti.

Lalu lintas udara menyesakkan paru-paru manusia, laler berkerumun pada tiap kebusukan yang terluka hari dalam jantungmu. Orang-orang menabur tanda tanya ke atas lantai keramik putih dan dingin. Bangku-bangku tua memasang diri di tengah kesepian yang mati, lumut-lumut bersemak oleh kelembaban udara dari mulut-mulut para penunggu. Kereta teronggok lena, kesabaran dalam hati tak mungkin lebih dalam lagi, mata-mata tajam dan waspada. Gajah-gajah entah sudah lari hilang ke mana. Keriuhan tertinggal dalam kenangan dan bau rambut yang terbakar lengket dalam ingatan tiap orang.

Langit hitam, mendung hitam, udara yang kejam. Para pencuri masih lelah juga, berkomplot dengan malam berganti warna, berganti ruang dan malapetaka. Stasiun penuh. Tiap sosok adalah patung yang tidak sempurna. Kecemasan lalu berjelma ketakutan mengeram di dalam dada. Kepala-kepala benjol bekas benturan keras. Stasiun penuh, sosok-sosok padat, hingga berjubal-jubal sampai keluar ruangan. Langit luka. Darah mengering. Hukum mendasari kakus yang panjang. Undang-undang mengelap meja makan. Orang-orang bisu, tangannya batu, matanya beku, mulut-mulut melepuh.

Kanak-kanak tergeletak kehabisan tenaga, kereta tak memunculkan tanda untuk mengular ke cakrawala. Pintu-pintu rumah tertutup senantiasa, jendela-jendela pecah, dan air mata menggenang di selokan kota. Burung gagak mengintai, seolah isyarat gajah-gajah hendak tiba lagi. Gerombolan gajah purba akan datang lagi, menabrak manusia dan janji-janji. Orang-orang ketakutan menjadi iman, melerai segala kesadaran. Orang-orang panik saling sapa tanpa kata. Darah mewarnai udara, menjelaskan kegelisahan yang tak menemukan bahan air mata. Jendral-jendral gajah berkuasa lagi, bagaimana nasib padi?

2009

_______________
Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Puisi-Puisi Dwi Pranoto

$
0
0
Don Quisot dalam Kamar Mandi

Lokomotif itu meluncur sendirian dalam kamar mandi
Stasiunnya adalah kecemasan
Siapapun akan dicekamkan,
Dijerat tanpa perlindungan;

                        Kamar mandi tak pernah beri ampun,
                        Sesuatu yang terlepas dibisikan lagi
                        Dengan nyanyian tragedi

                        Sayap-sayap merontokkan bulu-bulunya
                        Keyakinan terbuat dari kaca
                        Kamar mandi adalah sarang influenza
                        Penuh mata dan mulut kloset yang mengancam

Taring-taring muncul dari bak mandi
Siap menghujam nadi
Dan perisai mengkhianat
: dua puluh menit Don Quisot menginsyafi diri



Di Tepian Kali 1

Lempang jalan
Lengang batu-batu
Tajami desir air



Waktu dan Impian

Pertama-tama manusia menjinakkan waktu,
mengurungnya ke dalam almanak,
mencencangnya dengan jarum,
tapi itu tak cukup,
dengan cahaya ia membekukannya,
menggunting-gunting lalu merakitnya menjadi kenyataan lain,
kenyataan lain yang diimpikan,
manusia meletakan mimpi ke dalamnya,
mimpinya sendiri,
seluruhnya ditandas,
hingga tak lagi ada untuk sendirinya,
lalu manusia hijrah ke dalam kenyataan lain yang diciptakannya itu,
agar dapat kembali merasakan lain mimpi,
mimpi tentang kenyataan yang ditinggalkannya,
mimpi tentang dunia,
hasrat dunia,
dunia yang diimpikan dari dalam impian dunia.

http://lepasparagraf1.blogspot.com/2011/08/tiga-puisi-dwi-pranoto-dari-hantu-api.html

Puisi-Puisi A. Rego S. Ilalang

$
0
0
MUNCULNYA SENYUM DI TIMUR *

Munculnya senyum di timur
Bersimponi lantunkan puisi
Kata-kata tak hanya terarak dari buku-buku
Tapi dari larikan-larikan mega
Di atas sumbingnya fajar

Munculnya senyum di timur
Bersimponi lantunkan puisi
Dari langkah-langkah petualang
Di bening air mata
Dan di bilik-bilik kalbu

Munculnya senyum di timur
Bersimponi lantunkan puisi
Iringi mekar bunga melati
Di tudung cahaya mentari

Munculnya senyum di timur
Bersimponi lantunkan puisi
Di serat waktu menepi
Lidah gemetar menyebutmu puisi

Nganjuk, 01-03-2004



ILALANG, ADA APA DI SANA *

Wahai ilalang yang tumbuh di belukar,
kenapa kau diam?
Termenung ataukah berdo’a!
Hingga sunyi di cakrawala
Kemana koar mu yang dulu kudengar
Seperti binar Ken Dedes dari Polowijen,
juga diamnya Helen dari Troya

Wahai ilalang yang tumbuh di belukar
Mengapa tak kau angkat mukamu
Menatap langit-langit kalbu,
adakah sembilu di jantungmu

Wahai ilalang yang tumbuh di belukar
Rentangkan sayap rajawalimu,
terbanglah lewati hampar galaksi
tembus pintu surga,
lihat ada apa di sana?
Adakah sungai susu mengalir
dan bidadari yang menari menyanyi di taman firdaus?

Ya ada apa di sana lalu kabari aku.

Nganjuk, 07-01-2004

__________
* Dari Buku Sekumpulan Puisi "Jangan Menangis Kekasihku" Karya ARS Ilalang, KSII 2005



DIALOG PEMULUNG KEPADA WALIKOTA
(untuk Yakh)

bapak wali kota yang terhormat
aku ingin kau bangun balai kota yang megah
yang tak berpagar dan tak berpenjaga
agar aku dapat menyapamu tiap hari
tanpa protokol dan birokrasi
tanpa harus melapor dan ditanyai
aku dari mana, dengan nama siapa, dengan keperluan apa
dan apa pula pekerjaanku
aku memang pakai sepatu walau butut dan sobek diujung jempolnya
aku tak pernah pakai dasi tapi aku selalu pakai topi
untuk kurangi sengat matahari dan hujan di siang hari

bapak wali kota yang terhormat
aku ingin kau bangun juga taman di depan balai kota
untuk mempercantik dan memperindah kota
tempat bermain dan bersantai warga atau rakyatmu
bukan untuk menutupi kebohongan, kebobrokan dan keculasan
yang kau ciptakan yang berbau busuk menyengat

bapak wali kota yang terhormat
aku adalah warga kota yang tinggal dipinggiran kota
di pinggir-pinggir kali

bapak wali kota yang terhormat
aku bukan aparat ataupun orang keparat
aku bukan penjilat ataupun penjahat
aku bukan politisi ataupun tukang intimidasi
tapi aku warga kotamu yang tak ingin melihat
balai kota jadi istana keramat berpagar besi seperti bui

bapak wali kota yang terhormat
aku dan keluargaku hidup cukup walau sangat sederhana
walau rumahku berdinding kerdus dan gedek
walau tanpa mobil dan telepon genggam
walau aku tak punya safari, jas dan dasi
karena aku tak mau mencuri apalagi korupsi
aku pemulung pinggir kali
dan inilah suaraku seorang pemulung pinggir kali

Malang-Nganjuk, 22-09-2003 – 07-01-2004



JELANG SUBUH

aku bercinta disisa waktu menjelang subuh
mengalir air mata memakna seribu bulan
tanpa setubuhan jasadjasad mengitar percintaan panjang
sampai subuh berkumandang

Malang, 07 Juni 2005



MENANGKUP ATAPATAP

ngeh itu memintal menjadi
merambah menangkup atapatap
matapun tak kuasa menatap
pintalnya menali nuranidemikian hati mengingini
sepuing rahasia mengungkaptanpa suara lirih meratap
menjadi tetestetes embun pagi
menggumam tunggui datang siang
mengiring matahari melaras kidungan
dan ngeh itu menari melanglang
hati tak ingini hilang
ngeh itu terlalu menawan
hingga nyata bayang-bayang hilang

Malang, 07 Juni 2005



PADA SETANGKUP DAUN

pada setangkup daun
menangkup tangan-tangan anak kecil
menari tak mencicil

menggiring nada mengalun
pada setangkup daunlembut bergoyang memanggil
menyebar aroma terasa memanggil

ikut bergoyang teralunmata terikat pikat
terlenguh tak kuasa
menjumputi daun seikat

gerahnya merapatrapat
merapatkan berani meleluasa
hingga terhenti lambatlambat

Malang, 07 Juni 2005



JANGAN LUKIS AKU DI ATAS AIR

Jangan lukis aku di atas air
Tapi lukis aku di puisimu
Seperti sungai di kanvas bumi
Dan kamu kulukis di atas rahasia

Nganjuk, 02-03-2004



SELAMAT PAGI JUGA

selamat pagi juga untuk kaum petani hingga siang mengantar peluhnya tumbuhkan bulir-bulir padi untuk mengisi meja saji perjamuan para nabi. selamat pagi juga untuk pemulung pinggir kali mengais mimpi dari jejak-jejak lari mencangklong kembo berharap nyata mimpi. selamat pagi juga untuk para pengelola birokrasi menari di tumpukan dasi yang rapi tertata dalam laci mencuci diri untuk lari

September 12, 2005



CATATAN HUJAN (1)

ketika langit menyanyikan hujan. terlukis matahari tersenyum kemudian juga kidung burung mencandai mega-mega. tertinggal jejakjajak tapak menilas di genangnya. meluap rekah tanah beraroma mekar bunga. kupu-kupu menerawang esoknya.

ARS Ilalang , September 12, 2005

Puisi-Puisi Goenawan Mohamad

$
0
0
Puisi Kompas, 23 Feb 2014
Marco Polo

Hari masih gelap, hari Rabu itu, ketika Marco Polo pulang,
jam 6 pagi di musim gugur, beberapa abad kemudian.

I
Di dermaga Ponte Rialto tak dikenalinya lagi
camar pertama. Di parapet jembatan itu
tak bisa ia baca lagi beberapa huruf tua
sepanjang kanal.

Hanya dilihatnya seorang perempuan Vietnam
mendaki tangga batu yang bersampah.

Dan Marco Polo tak tahu pasti
apakah perempuan itu bernyanyi
di antara desau taksi air.
Apakah ia bahagia.

Atau ia hanya ingin menemani seorang hitam
yang berdiri sejak tadi di bawah tiang lampu
di depan kedai pizza, selama angin
merekatkan gerimis.

“Kalian datang dari mana?” pengelana Venezia itu bertanya.

“Tidak dari jauh,” jawab perempuan itu.
“Tidak dari jauh,” jawab orang hitam itu.

Dan camar pertama terbang.

Ia pernah kenal pagi seperti ini:
pagi yang dulu tak menghendakinya pergi.



II
Bau kopi pada cangkir
sebelum kantin membuka pintunya,
bau lisong pada kursi
yang masih belum disiapkan:
yang tak berumah di kota ini
tak akan pernah memulai hari.



III
Dua jam ia coba temukan tanda delima
yang pernah diguratkan di ujung tembok
lorong-lorong sempit.

Tapi Venezia, di tahun 2013 Masehi,
tak lagi menengok
ke arahnya.



IV
Di Plaza San Marco, dari dinding Basilika
malaikat tak bertubuh
menemukan gamis yang dilepas.

“Adakah kau lihat,
seseorang telah menemukan seseorang lain
dan berjalan telanjang
ke arah surga?”

Tak ada yang menjawab.
Hanya Marco Polo yang ingin menjawab.
Tapi dari serambi kafe
orkes memainkan La Cumparsita
dan kursi-kursi putih manari
tak kelihatan, sampai jauh malam
Ketika kemudian datang hujan yang seperti tak sengaja,
Seorang turis berkata: “Akan kubeli topi Jepang
yang dijajakan pada rak,
akan kupasang
ke kepala anak yang hilang dari emaknya.”



V
Menjelang tengah malam, para pedagang Benggali
masih melontarkan benda bercahaya
ke menara lonceng. “Malam belum selesai,” kata mereka,
“malam belum selesai.”

Marco Polo mengerti.
Ia teringat kunang-kunang.



VI
Cahaya-cahaya
setengah bersembunyi
pada jarak 3 kilometer dari laut

Dan laut itu
terbentang
gelap aneh yang lain.

“I must be a mermaid, Rango. I have no fear of dephts
and a great fear of shallow living.” – Anais Nin



VII
Esoknya hari Minggu, dan di bilik Basilika padri itu bertanya:
“Tuan yang lama bepergian, apa yang akan tuan akui sebagai dosa?”

Marco Polo: “Imam yang tergesa-gesa.”

“Saya tak paham.”

Marco Polo: “Aku telah menyaksikan kota yang sempurna.
Dindingnya dipahat dengan akses dan peperangan
di mana tuhan tak menangis.”



VIII
Di Hotel Firenze yang sempit
Marco Polo bermimpi angin rendah dengan harum kemuning.

Ia terbangun.

Ia lapar,
ia tak tahu.
Ia kangen,
ia tak tahu.

Ia hanya tahu ada yang hilang dari selimutnya:
warna ganih, bau sperma,
dan tujuh remah biskuit
yang pernah terserak
di atas meja.



IX
Pada jam makan siang
dari ventilasi kamar
didengarnya imigran-imigran Habsi
bernyanyi,

Aku ingin mengangkut hujan di kaki dewa-dewa,
aku ingin datangkan sejuk sebelum tengah hari besok,
aku akan lepaskan perahu dari kering.

Di antara doa dan nyanyi itu
derak dayung-dayung gondola mematahkan
sunyinya.



X
Sebulan kemudian.
Di hari Senin itu
musim mengeras tua
dan Marco Polo membuka pintu.

Cuaca masih gelap.
Jam 6 pagi.
Biduk akan segera berangkat.

“Tuanku, Tuhanku,
aku tak ingin pergi.”
Ia berlutut.

Ia berlutut tapi dilihatnya laut datang
dengan paras orang mati.

2013

________
Goenawan Mohamad menulis puisi, esai, dan lakon. Kumpulan puisinya yang terbaru adalah Gandari dan Sejumlah Sajak (2013).
https://puisikompas.wordpress.com/2014/02/26/puisi-goenawan-mohamad-2/

Puisi-Puisi Indra Intisa

$
0
0
Media Indonesia, 23 Sep 2018
Si Buah Hati

Si buah hati
berjalan mengelilingi hati
dengan corak mekar.
Di sentuhnya kebekuan hati
atau mata yang hampir buta.
Tubuhku geli,
kami terkekeh di padang rumput
Mengejar bola
Menanam bunga
Bermain air

Tiba-tiba hujan.
Aku cemas.
Telunjuknya keluarkan pelangi.
Kami pungut bersama

“Ayah, ini buat Ibu, ya?”

“Bukan, Anakku.
Tetapi buatmu.”

“Lalu buat Ibu, mana?
Buat Ayah, mana?”

Kusisipkan telunjuk
yang berisi harap
yang berisi kasih
yang berisi petuah
pada dadanya yang mungil.
“Di sini, Anakku.”

2016



Sebelum Tidur

Sebelum tidur,
kecup dulu cita-citamu, Nak!
Di jidat biar manis.
Di pipi, di lesung pipit
yang berlubang itu.
Jangan lupa mimpikan
bambu yang menjulang.
Mimpikan kelapa yang lebat.
Dan simpan urat-uratmu
dengan kokoh.

Kelak di pagi hari
jangan lagi cari ayah.
Ayah telah hidup dalam mimpimu.
Menyimpan sekotak emas
di sana. Di sini.

2016



Bernyanyi

Chord: C F G
Lihatlah anakku sayang
Hijaunya alam nan indah permai
Ada pelangi di setiap taman
Warnai semua kehidupan ini *)

dalam matamu ada suara
yang menembus jantung
(berhenti sejenak)
tiba-tiba aliran darah berlarian
berkejaran dengan tingkahmu.

“ayo kejar daku, ayah!”
tawamu saling kejar dengan tangisan
tangkap-menangkap. siapa dapat.
dia mengejar. dan kembali menunggu:

Chord: C Dm G C
oo, zizi.
jangan menangis
mari bernyanyi
tentang langit biru

oo, zizi.
jangan menangis
kalau menangis
digigit kangguru … )*

tawamu mengejar tangis.
“aku menyerah,” serunya.
dan tawamu pecah.

2017
*) Cuplikan lagu Mari Bernyanyi yang saya tulis sebelum Zizi dilahirkan. Biasanya lagu ini sering saya nyanyikan bersama dengan keluarga. Zizi selalu ikut bernyanyi.



Bernyanyi, 2

“Ini lagu apa, Yah?”
tanyamu sembari memetik senar
gitar.
nada mengalun memenuhi binar
matamu.
beberapa kelopak mawar, mekar
semerbak memenuhi ruangan.

Di dapur ada pelangi
tempat ibumu memasak.
“Zizi suka sup ayam, Ayah.”
Ia suka pahanya
suka sayapnya.

“Mau jadi pilot, ya, Zi?
Mau terbang ke mana?”
“Mau terbang sambil
bernyanyi, Ayah.”

Aroma pagi hari terus
menyejuki dada.
Yang biasa debar saat kurang.
Yang biasanya degup saat susah.
Yang biasa sakit saat teriris.
Cahaya mentari bersinar lembut
dari sela-sela matamu.
Suaramu terus membelai.

2017



Kau yang Lahir

Kau lahir dari dua putaran matahari bersinar terik di
antara dua kepala ayah-ibu berbentuk bulat dan bujur
sangkar dengan tangan-tangan kecil yang mengeras
menggenggam harap dari doa-doa, mimpi dan niat
baik-baik terhadap hidup atau masa depan yang
sebagian orang diperolok-olok dengan rasa malas dan
putus asa tanpa kaki dan tangan yang bergerak dan
tubuh gemuk dengan perut buncit yang dipenuhi ego
dengan gigi tanpa taring yang sebagian lainnya patah
tanpa pernah dipakai kecuali melalui bualannya
tentang tulang-tulang keras yang telah dikunyahnya,
dan kautetap saja lahir dengan senyum kembang

menikam jantung mereka keras-keras hingga ayah-
ibu berteriak sambil berkata, “Berperanglah, Nak!

Bunuh ego mereka, kelak di setiap belahan bumi,
kau akan terus lahir dan hidup di antara hati dan
pikiran mereka yang coba-coba untuk hidup dalam
keputusasaan dan prasangka yang membunuh harap
setiap insan!”

2016

Indra Intisa, yang sering dipanggil dengan sebutan Ompi telah menulis puluhan buku antologi bersama. Penulis yang lahir pada 27 September 1984 itu juga sudah menerbitkan buku solo, seperti puisi mbeling Panggung Demokrasi (2015), puisi lama–syair, gurindam, pantun, seloka, karmina, talibun, mantra Nasihat Lebah (2015), puisi imajis Ketika Fajar (2015), Putika (Puisi Tiga Kata) Teori dan Konsep (2015), Dialog Waktu (2016), novel Dalam Dunia Sajak (2016), Sang Pengintai (2017), Kuberi Kau Nama: Tuan. Bukan Fulan (2018), Kumpulan Esai: Apresiasi Puisi (2018). Penulis yang suka menulis lagu itu dapat dihubungi melalui e-mail indraintisa@gmail.com atau Facebook Indra Intisa (Ompi). Saat ini tinggal di Dharmasraya, Sumatra Barat.
https://klipingsastra.com/id/puisi/2018/09/si-buah-hati-sebelum-tidur-bernyanyi-bernyanyi-2-kau-yang-lahir.html

Puisi-Puisi Ahmad Yulden Erwin

$
0
0
Kompas, 21 Juli 2013

Improvisasi

Aku pergi…
-Tanza

1
Hujan belum turun pada baris sajakmu,
juga ke jalan berbatu dan atap rumahmu.
Malam yang tersangkut ranting kering

tak juga bergeming oleh tatap matamu.
Kau tahu, semua mesti berakhir, seperti
bangkai capung yang terinjak sepatumu.

Pintu. Debu. Remah roti. Semut-semut
merayap di toples gula. Segalanya adalah
mimpi yang terbakar di telapak tanganmu.

Tak ada yang kekal, juga bayangan bulan
yang terpantul pada kedua bola matamu.
Sepatu kautaruh di raknya. Baju, celana,

singlet, sempak: kaugantung di samping
jendela. Kautatap tubuhmu di depan kaca:
Bukan sabda. Bukan kata. Bukan tanda.


2
Tak ada satori saat kautatap percik hujan
di nako jendela kamarmu. Tak ada kensho
saat petir menyergap gendang telingamu.

Kau tersenyum memandang kotak sampah
di pojok ruang tamu. Waktu telah menjadi
segelas air bening yang mengalir perlahan

di dinding ususmu. Kau tak lagi menatap
arloji di tangan kirimu. Kaubiarkan saja
detik-detik memercik pada tiga larik haiku.

Kautatap bunga-bunga krisan di meja tamu.
Kau tertawa. Semua menjelma metafora:
Bukan suara. Bukan udara. Bukan cahaya.



Perawi

Di Portland yang dingin, sepasang gagak
menolak menjadi angin. Matamu tersedak
mencari langit yang lain. Fajar musim semi

mematuki embun di putik kuntum cherry.
Hitam paruh gagak mengendap ke batang
pohon oak. Kuning napas waktu merayap

di kerah jaketmu. Matamu telah terjepit
di ruang tunggu. Derit kereta menjemput
jerit gagak. Para penumpang menjemput

jerit yang lain, senyap yang lain. Tak ada
angin akan menjemput hitam sayap gagak
di bukit hijau itu. Sebuah teluk terbentang

ke dalam matamu. Kausesap bau ombak
dengan kulitmu. Kautangkap jerit-senyap
dengan bibirmu. Langit menjadi lidahmu.



Kitab Angin

Dharma bermula di sini, di entah yang berujung
di kini. Langit menjelma tulpa: Seorang sadhu
di kuil air mata – duka sebelum sepuluh kalpa

biji-biji waktu kini tumbuh di kening sramana,
mekar perlahan menjadi sunya. Setangkai soka
di jantung nebula: Kesatuan dalam setiap benda,

urat syaraf semesta. Yang tak dikenal menyusup
sebagai huruf – menjelma taman-taman bunga,
sebelum pikiran tercipta. Biji-biji waktu tumbuh

sebagai matamu. Yang terbakar di malam hari
mekar di pagi hari. Yang terbakar di pagi hari
mekar di siang hari. Yang terhapus di batin ini

tak lain biji-biji angin, tunas angin, ladang angin.
Putik-putik angin pecah di tepi kuala, melayang
bersama sabda: Advaita! Bukan satu, bukan dua.

____________
Ahmad Yulden Erwin lahir di Tanjung Karang, Lampung, 15 Juli 1972. Puisinya termuat dalam sejumah antologi, antara lain Mimbar Penyair Abad 21 (1997) dan Cetik (1999).
https://puisikompas.wordpress.com/2013/07/24/puisi-ahmad-yulden-erwin-2/

Puisi-Puisi Abi N. Bayan

$
0
0
Pernahkah Aku Bertanya Kepadamu, Ma?

Ma, setelah berkali-kali subuh melepasmu
dari dinding-dinding bambu rumah itu,
dan pagi berulangkali mengantar ayah
ke bukit-bukit terjal, gelap, dan bersahaja
pernahkah aku bertanya kepadamu?
Berapa banyak keringat yang telah gugur
membasahi kebun, tanah liat, batu rijang,
hamparan pasir yang di atasnya hanya terik.

Begitu panas matahari mencium-memelukmu
begitu tajam hutan memeluk tubuh ayah.

Pernahkah, Ma?
Pernahkah aku bertanya kepadamu?
Atau kepada bika yang bermusim-musim dipapah ayah
dan saloi yang berhari-hari engkau papah
menempuh jalan-jalan berliku dan mengkhawatirkan,
saat pagi terbangun dan engkau buatkan aku teh manis,
asida, pisang goreng, cingkarong, lamed, dan pisang tumbu
agar aku dapat mengikuti pembelajaran
di sekolah dengan baik. Pernahkah, Ma?

Pernahkah aku bertanya kepadamu?
Atau kepada asap dapur yang berhari-hari menggarami matamu
demi mengisi perutku yang selalu keroncong.
Atau kepada doa-doa malammu yang selalu syahdu
melagukan air mata agar jalan-jalan terbuka dan mudah untukku.

Begitu panjang,
begitu dalam episode air mata itu.
tak dapat aku hitung dengan tangan
tak dapat aku ukur dengan bibir.

Pernahkah, Ma?
Pernakah aku bertanya kepadamu?
Atau kepada ayah
ketik terik di ubun-ubun
dalam kerumunan itu
wajah-wajah menyala-
tapi ayah tidak sedang menyalakan api

dan engkau begitu kuat, menahan gelombang
sedangkan kami hanyut dalam deras air mata.
Pernahkah, Ma?
Pernakah aku bertanya kepadamu?
Keringat dan air mata seribu tahun yang pernah gugur itu?

Morotai, 29 Januari 2019.



Mama

Ma
bila aku harus pulang
aku cuma ingin pulang
ke palungmu:
rahim yang melahirkanku
berulang-ulang.

Morotai, 2020.



Ke mana Kita akan Pulang

Akhirnya kita harus memilih
di rumah mana kita harus menetap
menghabiskan sisa hari yang semakin runcing

di negeri yang kucing-kucingnya menjadi tikus
yang tikus-tikusnya selalu bahagia menjadi gorango

kita akan berbahagia di sana
di mata orang-orang dan hewan-hewan
yang kehilangan tanah dan tempat tinggal

kita akan menjadi dua kekasih paling bahagia
di bawah jam-jam yang berputar
dan kemanusian satu demi satu menjadi hewan

kita akan bermandi
di sungai-sungai yang airnya merupa kopi susu

kita akan berenang
sambil menyelam
di lautan yang kehilangan ikan-ikan

kita akan berlarian
di atas hamparan pasir penuh jejak
dan ombak diam-diam menghapus jejak kita

kita akan tertidur di sana
tanpa mimpi sampai pagi
dan ketika terbangun
kita harus memilih
pulang atau menetap

Morotai, 2020.



Siapa Tahu Kita Berpisah Kemudian Bertemu

Siapa tahu kita bertemu kemudian berpisah
seperti cengkeh dan rantingnya
pala dan fulinya
atau kelapa dan dagingnya.

Kita bersumber dari ibu yang satu
kemudian tumbuh dan berbuah menjadi banyak
kemudian musim memetik atau membelah tubuh kita
kemudian kita pergi
membawa diri masing-masing kemudian kembali.

Siapa tahu kita berpisah kemudian bertemu
seperti ombak dan rijangnya
dayung dan perahunya
nahkoda dan kapalnya.

Kita berasal dari sumber yang satu
kemudian berpisah kemudian bertemu
kemudian pergi kemudian kembali
kemudian pergi kemudian lelah
dan satu-satu yang kita ingin
hanyalah pulang
kemudian tertidur tanpa mimpi.

Morotai, 2020.



Saatnya Kita Pulang

Saatnya kita pulang
kita ambil kembali
semua yang kita lemparkan ke udara
atau yang pernah kita titip di mulut angin

kita ambil semua
mimpi-mimpi yang kita ucapkan
kepada malam atau kepada matahari
bulan bintang-bintang

kita ambil semua
kenyataan-kenyatan yang kita beri kepada hujan
atau kepada laut yang berhari-hari mengirimkan ombak

kita ambil semua
yang selama ini kita percaya
hanyalah bayang-bayang
semoga kelak
tak ada lagi yang kembali
kepada kita.

Morotai, 2020.
http://sastra-indonesia.com/2020/02/puisi-puisi-abi-n-bayan-3/

Puisi-Puisi Nezar Patria

$
0
0
MENDENGAR WONDERWALL, 1

Yang kita kenang tentang jalan
adalah bentangan angin
Tempat mimpi menjadi dingin
dan lagu-lagu tersimpan

Sebuah kebangkitan?

Suara kelebat bendera-bendera
Lidah api di gelas martini
Molotov yang bahagia
Melalap doa dan liturgi

Di dinding bui
Tak ada yang dapat kau daras
Tentang seribu gelombang sunyi
Berdiam di 109 Mhz

Di Wonderwall
Ada sebuah pintu
Dengan sebuah ketukan awal
Merayap dari masa lalu



MENDENGAR WONDERWALL, 2

Seekor kucing mendengkur
Tubuhnya melengkung mengukur petang
Di kaki sang tuan

Dua puluh dua tahun lalu
Bergerak para serdadu
Sangkur bergemeretak
Debu di jalan mengombak

Seekor kucing gontai kurus
Menyelinap di sepatu lars
Berderap wajah-wajah rata
Dingin seperti runcing senjata

Dan ada sebuah tembakan
Kucing itu melayang
Seperti gumpalan kapas usang

Lama aku mengenang
Ia sebagai kucing terbang



MENDENGAR WONDERWALL, 3

Dan perempuan itu orang suci
Seperti cintaku padanya
Di kakinya ada surga

Orang-orang membungkuk
Berebut mencium jejak
Ia mungkin berkah dewi

Kecuali di sudut taman ini
Di antara melati dan mawar
Ia bermata nanar

Di tanah yang menjadi merah
Seekor kucing putih
Dipukulnya mati tadi pagi



MENDENGAR WONDERWALL, 4

Atas nama daftar hitam
Dinding ini pernah bergumam
Dalam testimoni rahasia

Kematian pertama?
Mereka memang tulus pergi
Orang-orang mengiranya mati

Di dinding ini. Ada bisikan,
Semacam caci maki bangkit
Dalam ambisi yang buncit

Orang-orang berdusta
Dan derap kaki para jelata
Semakin memacak jarak

Dalam sunyi dan bunyi
Ada repetisi sajak
Tentang bunga dan tembok

Lalu terdengar lagu revolusi
Seperti sebuah koor
Dengan nada tak terukur

Atas nama daftar hitam
Dinding ini pernah bicara
Dalam huruf tak terbaca



MENDENGAR WONDERWALL, 5

Di dinding ini, katamu
Ada cerita tentang kolam
Airnya jernih dan bening
Berbayang patahan ranting

Di kolam itu, katamu
Kita bisa bercermin
Di tengah hutan randu
Tempat kijang bermain

Di balik pepohonan itu, katamu
Ada sebuah telaga
Tempat membunuh dahaga
Dan burung-burung pun mandi di sana

Airnya dingin berkilau, katamu
Seperti danau di Antartika
Tempat pesta para dewa
Yang tak pernah berkaca

Tentang orang-orang hilang itu, katamu
Mereka mungkin ada di sini
Berdiam di dasar telaga
Dan menjadi arca

_______________________________
http://sastra-indonesia.com/2020/02/lima-puisi-karya-nezar-patria/

Puisi-Puisi Djoko Saryono

$
0
0
MENYELAMI DIRI

/1/
dalam sungging begini mesra
kita senyapkan segala wicara
dan istirahkan segenap suara

biarkan rasa meracik makna, menakik cinta
dan merumuskan bahasa bagi rindu di dada

/2/
cuma bersentuh sekejap cahaya
beribu indah kata menyerbu dada
berlaksa agung irama merebut jiwa

dinda, kita pun disergap kidung asmara
            bersari bening suara
dan disekap di ranah asing rasa
            yang menolak diungkap bahasa

dinda, jangan meronta, pasrahkan sukma
hening biarlah bertakhta, menguntai sabda
kita sesap tanpa kata-kata: apalagi suara!

/3/
bila diam sudah lengkap mengabarkan rindu
buat apa desah suara diracik sebegitu merdu
kata-kata dirakit-rakit penuh semerbak rayu?
bukankah malah menawarkan pergolakan kalbu?

jika isyarat telah utuh mengirimkan bening hajat
untuk apa baris hasrat disorongkan begitu cepat
nikmat dicetuskan dalam aneka pilinan kalimat?
bukankah menghambarkan pertarungan syahwat?

huss… masuklah ke sunyi tersepi di dasar diri
menemui nurani membabar makna hidup sejati

/4/
rempah rindu menguarkan aroma rayu
menyerbu lubuk batin terperangkap ragu
rempah rindu kuramu doa saban waktu
agar kelezatan cintamu meneluh kalbu

ohh … di mana aku? – di mana aku?
harum bunga-bunga menculikku
dan menyekap di kuala rindu!
berserah pasrah aku biar bersatu

/5/
sesudah berjumpa Dewaruci
di dasar samudra eksistensi
aku tiada lagi: habis diri!
maka jangan kau ingat lagi!
ingatlah: hanya yang suci

/6/
setelah habis diri
aku pendar cahaya rabani
yang menubuh: membumi!

/7/
jangan sebut pasti: aku
yang mengada: nanti mengabu
yang diri sejati: senantiasa rabani
tak ada di sini: mrucut saat dipegangi



DIORAMA ASMARA

/1/
kau bakar, kau bakar dada
panas membara asmaramu
menyala-nyala ruang jiwa raga
hingga ludes menjadi rintik abu

dan kau biarkan tanpa haru
dan kau tinggalkan tanpa ragu
sebab aku cuma abu, cuma abu

/2/
dinda, benih rindu
kau sembahkan kepadaku
dihidupi senyum tiap temu
dirabuki humus mesra selalu
tumbuh pohon cinta di kebun jiwaku
menjulang gapai niat bersatu
tetapi kabut ragu kutemu
berbuah lebat atau tidak bagiku
dirimu cuma termangu: gagu!

/3/
dinda, gelap rambutmu
menyanyikan rindu
disapu angin limbubu
kurekam semua di pita kalbu
duh … betapa ngilu hasratku
lantaran dirimu angan semu

/4/
dinda, selepas melalui pematang sawah
kita lewati jurang-jurang cegah
seketika kau menyerah
berkah cinta tak cukup buat hujah
aku pun rebah: dimangsa resah
kita berpisah: sebelum bersulang indah

/5/
dinda, gerimis pedih bertubi menerpa
kendati gemawan celah merona
dan hujan lindap telah lama
sebab percikan air jeram yang jatuh
melayang dan membentur gemakan aduh
suarakan cintaku yang runtuh

/6/
dinda, hanya rindu menautkan kita
di ranah citra lembut cinta
di ruang bayang kudus asmara
di situ kebebasan bersama terbuka

tapi waktu merentang garis batas
tanda kita ada beda amat tegas
kau ikan indah di luas samudra
aku ikan air tawar di dingin telaga
mana bisa hidup di kolam bersama!

Malang, Juli 2012



PENGAKUAN PRABANGKARA, 1

dengan kepolosan hati yang terpiara
di hadapan baginda dia berhujah mulia

mana mungkin sahaya mencintai permaisuri:
memandang sekejap pun sahaya tak berani
apalagi beradu hati berisi laut kasmaran insani
mungkinkah sahaya bercinta dengan permaisuri?:
melangkah seingsut pun kaku kedua kaki
apalagi bersanding bermain badai asmara suci
mana mungkin sahaya memadu cinta berdua:
bersua sejenak pun cuma impian semata
apalagi menyatukan raga ciptakan rimba cinta
mungkinkah sahaya bermadu dengan belahan jiwa paduka?:
bertatap sekilas pun hanya angan belaka
apalagi meleburkan rasa menyulut bara asmara
tapi mana mungkin sahaya bisa melukis pujaan baginda:
bila bayangan kemolekan raga sedikit pun tak ada?
bila kelebat kecantikan paras sedikit pun tak punya?
bila gambaran kesempurnaan tubuh tak tersedia?
tapi mana mungkin sahaya sanggup melukis serupa yang nyata:
bila cuma bersandarkan cerita: berdasarkan kata?

jangan licin kata! lidahmu mengeluarkan amis asmara!
sergah baginda dikepung bayang permaisuri tercinta
sedang sungkawa diterjang luka yang dia sendiri cipta



PENGAKUAN PRABANGKARA, 2

dalam gemetar nada disabot jagat raya
dalam getar gemeretak suara dia berkata

cuma tetesan tinta, baginda
sungguh, hanya cairan isi pena
tiada sengaja luruh menimpa
tubuh sempurna isteri paduka
seusai tersalim di kanvas kasa
kenapa hamba dibanjiri purba sangka?
kenapa paduka menghunjamkan nista?

cuma tetesan tinta, bukan cinta
hanya cairan isi pena, tak asmara
benar, sekadar tinta di ujung pena
yang lunglai lalu menitik di pusat kama
serupa tahi lalat yang permaisuri punya
akibat konsentrasi hamba luar biasa
kenapa paduka harus membabi buta?
sungguh, sirna kebajikan penguasa!

jagat raya bersemedi begitu paripurna
diam-diam mencatat semua angkara



PENGAKUAN PRABANGKARA, 3

kuasa selalu mengabadikan sekat-sekat
merendahkan cinta sekadar pupur nikmat

Julukanku: sapi hitam bernoda kegelapan
lantaran benihku hasil sebuah kebrutalan
birahi penguasa yang tak terkendalikan
walau rahim ibu mengalirkan kehangatan
dan menghidupiku gemerlap kecintaan

“Kekuasaan selalu beraut keangkuhan
keliaran bercitra kehebatan – keanggunan
dan korban utama niscaya perempuan
tak heran, kau lahir tanpa kuharapkan
kendati kukasihi sepenuh kemampuan”,
tandas ibunda saban kali kutanyakan
nasab pemberi akar tunjang kehidupan

“Jangan sekali-kali bertanya ayahandamu
jangan mengemis kepastian kepada diriku
sebab yang kuingat cuma birahi menderu
mengejar kemasyhuran semu – juga palsu
sebab yang kuingat bukan pangeran rindu
berani melepaskan segenap rias berdebu
dan sanggup memberi kepastian asal-usulmu,”
cergas ibunda memotong rajam siksa masa lalu

prabangkara tahu, menyudahi tanya bagi ibu
langit kehilangan biru, tampak kelu, kerajaan bisu



PENGAKUAN PRABANGKARA, 4

yang gelap, lolos berucap
yang pengap, sulit mengendap

namaku Prabangkara, pangeran pinggiran
di antara pusaran kekuasaan yang diresmikan
buah birahi baginda raja bersama perempuan
janda muda yang dengan sengaja diumpankan
dalam kencan semalam di luar tembok kerajaan
maka akku tak beroleh pengakuan dan pengesahan:
aku dilupakan dan memang ditiadakan

namaku Prabangkara, pemuda berdarah campuran
di antara darah raja diraja dan orang kebanyakan
buah nafsu kilat paduka raja dengan perempuan
janda muda desa yang sengaja dipersembahkan
dalam lampias asmara tanpa susila para bangsawan
maka aku tiada dimasukkan sejarah baku kerajaan:
aku dihapus dan memang diabsenkan

namaku Prabangkara, manusia perbatasan
antara gemerlap istana dan gelap pedesaan
akibat tabiat kekuasaan tanpa kemanusiaan
akibat perangai kekuasaan tanpa kesusilaan
apa arti kekuasaan tak menjunjung kemanusiaan?
apa arti kekuasaan tak mewahidkan kesusilaan?

namaku Prabangkara, abdi keraton mumpuni segala
kondang sebagai sungging istana kesayangan paduka
dipercaya melukis kemolekan diri permaisuri tercinta
dan saat tersingkap rahasia, aku dilenyapkan baginda
namaku Prabangkara, pengeran terpinggirkan …
namaku Prabangkara, pangeran terlupakan …
namaku Prabangkara, pangeran terlenyapkan …

angin menderu-deru tak henti, dan dia terbang tinggi
manusia bertanya-tanya di hati, kemana arah dia pergi
istana diracuni sunyi, suara tebakan macet di ulu hati.


________________________
Djoko Saryono lahir di kota Madiun 27 Maret 1962, besar dan mukim di kota Malang. Menyelesaikan S1 (1986), Magister Pendidikan (1991), Doktor pendidikan (1997) dan meraih guru besar bidang pendidikan bahasa dan sastra Indonesia (2009). Mengajar di IKIP Malang (Universitas Negeri Malang) sejak 1986. Menulis sekitar 25 buku tentang kebudayaan, kesenian, kesusastraan, kebahasaan dan pendidikan, diantaranya: Pergumulan Estetika Sastra di Indonesia; Perempuan dalam Fiksi Indonesia; Etika Jawa dalam Fiksi Indonesia; Suara Sufistik dan Religius dalam Sastra; Budaya, Seni dan Bahasa dalam Kelindan Kuasa. Kumpulan puisinya Arung Diri (2013), Arung Cinta (2015), Kemelut Cinta Rahwana (2015), Arung Flores (2015) dan Tafsir Kenthir Leo Kristi (2015).
http://kepadapuisi.blogspot.com/2017/09/djoko-saryono-arung-cinta.html

Puisi-Puisi Nurul Komariyah

$
0
0
SEKILAS BERMAKNA

Tanpa kata, lekuk tubuh berarti,
lama dinanti berharap yang pasti
uraian kalimat menjadi paragraf
paragraf ke dalam ujaran dokma.

Entahlah siapa yang memulai
gejolak batin penyedap utama
di pelupuk mata, di sudut rasa
dan datang sekilas berlalu sudah.

Tinggal nikmat luka membekas ada
gurat-guratan di wajah ini berlalulah,
sepintas menembus bayang kala semu
sendiri tak tampak tertutup emosi diri.

Sial ingin diucap, jengkel dilontarkan.
Namun kepada siapa? Dan untuk apa?
Gunung luruh, debur ombak tumpah,
semua menyimpulkan salah. Tuhan.

10/11/2018



SANG BEGAWAN ITU

Sang begawan lewati kata-kata
pada jutaan mata tiada mati rasa,
namamu terus terukir dalam jiwa.

Di setiap helaian napasan kata-kata
elok tuangan tinta pada kalimatnya.

Menakjubkan tak pernah membosan,
aku baca tetesan air mata basuhi jiwa
di dalam angan berjabat tangan bersua.

Meski tak pernah bersama, tak berjumpa
hangat karyamu pada kesendirianku nyata
menemani hari-hariku dalam semesta jiwa.

Impian cita-cita berkarya bangkitkan gerilya
kata-kata barpadu padan dalam inilah karya,
seperti irama musik kesepian paling purba.

20 Jan 2020



GERBANG DUNIA
MENANTI WANITA

Bisakah itu?
Mungkinkah itu?
Dan kapankah itu?

Pertanyaan tak berujung dicari tahu,
soal-soal butuh berjuta jawaban ilmu
wanita bisa menuju gerbang duniamu,
sanggup menggapai tinggi cita-citamu.

Setiap saat dapat kau raih dan gapailah
nyala dan nyali, tutupi dengan gaunmu,
simpan kecerdasan, keluarkan jika perlu
kuat otot pukulkan ketika terjepit waktu.

Lelah diri terbilas usaha kian maju
kesuksesan pantang dicampur pilu,
temaram lentera di waktu-waktu itu,
berubah sinar terang sepanjang waktu.

Seterang titik-titik silau sang matahari
turuti langkah, ayun maju raih mimpimu.
Dan indahkan hidupmu demi sang waktu
yang menuntutmu di gerbang duniamu...



SENANDUNG KELABU

Terukir pena tanpa aksara
tertutup mulut beribu bahasa,
terserak-serak aku tak berdaya
kalah duka nan lara menerpa,
tak dapat kubawa bersama.

Hari-hari kelabu penuhi air mata
senandung indah telah sirna sudah
pesona, wibawa luluh tak terasa jua
siang-malam kehampaan yang ada.

Dapatkah bersatu, selalu bersua... Oh...
indah senandung berganti selimutan duka
termenung sendiri, silih berganti menyapa.

Aku tak mampu menolak, tak kuasa
do’a kupasrahkan kepada Yang Esa,
aku tunggu segala garis hidupku saja
tiada lupa berusaha, sembari berdo’a,
untukku yang selalu dirundung manja.



SELEMBAR JANJI KEKASIH

Fatamorgana memadu kisah kasih
kini berubah jadi ada dan nyata
ikatan suci bak hidupi nirwana
selembar janji terucap berdua
penuh arti syarat akan makna.

Temui, lalui berjanji setia
solek wajah ayu rupawan,
tutur kata-kata manja pula.

Lenggok tubuh penuh pesona
gandrung hati melodi asmara.

Helaian napas merdu kata cinta
selembaran janji tak kan sirna.

Walau diterpa badai, prahara
meski pun runtuh Himalaya
ataulah banjir gurun sahara,
sehati jua terpatri selamanya.

___________________________
*) Nurul Komariyah, S.Pd., lahir 22 September 1985, beralamat di Dusun Bagel, Sumberagung, Sukodadi, Lamongan. Mengajar di SDN Sumberaji, Sukodadi. Kini sedang menunggu jadwal wisuda Strata Dua di UT Surabaya. Aktif menulis buku harian, puisi, dan pantun, sejak di bangku SD, dan beranjak SMP gemar mengisi majalah dinding. Sewaktu SMA dan kuliah, menulis di beberapa jurnal, tabloid, majalah sekolah, dan kampus. Bergabung di komunitas: FLP, FP2L, Literacy Institute Lamongan.
http://sastra-indonesia.com/2020/03/puisi-puisi-nurul-komariyah/

Puisi Sunlie Thomas Alexander

$
0
0
LOOPHOLES
kepada ahar

(1)
semisal waktu, barangkali kita
hanyalah sejenis prasangka
yang bakal beranjak lelah

dan di luar tafsir, mimpi pun
mendingin--tapi kau tahu,
cemas itu akan terus mungkir
: seperti pula bingar birahi
atau sepotong rahasia rindu

di batas panggungmu,

bahkan sebelum ego kita
menjadi sepasang pisuh, sebelum
segala kenangan
menyaru sebagai sembilu

sebelum malam
dan hujan tak jadi jatuh

tentu, melodrama itu tidak lain
sepenggal tragedi yang rancu
seolah-olah lucu

(2)
toh aku telah begitu paham:
aku akan tetap mencintaimu
berulang-ulang
dan berkali lagi

seusai matahari, sesudah dendam itu
dipentaskan di laman facebook

hingga kebencian memiuh
layaknya harapanku
yang tak tulus menjauh;
melampaui tsuen wan atau
bintang-bintang di langit kamarmu

dan kelak aku bakal coba
menafsirkan kembali kesakitanmu

(3)
ya kelak, mungkin kau sudah mengira
ada yang belum selesai
di layar telepon pintar, ada luka
yang tetap tersimpan
bagaikan nomor lama

sejak kali terakhir
aku menandai senyummu
: seakan-akan dosa yang
tak butuh untuk ditebus itu

(4)
lalu kau bakal datang lagi
menggenapi lukaku;
yang kulihat berulang
dalam kepekatan mata kudusmu

serasa sumur tanpa dasar,
seperti lupa yang tak terjamah

dimana luka lainmu
telah mengunci diri
dalam kamar tak berpintu:
dan seorang kanak-kanak tanpa usia
menangis sendirian di sana

menampik hari ini
di masa lalu

tapi kau tahu, aku akan tetap
mencintaimu dalam kegelapan itu
dari mungkir ke mungkir,

sampai mimpi lain bercecebang
di hatiku, di setiap penyangkalanmu

sementara hujan tak juga jatuh


Palembang, Maret 2020

____________________
*) Sunlie Thomas Alexander memiliki nama lahir Tang Shunli, (lahir di Bangka, Kepulauan Bangka-Belitung, 7 Juni 1977), sastrawan berkebangsaan Indonesia keturunan Tionghoa. Ia dikenal melalui karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, kritik sastra, catatan sepak bola, dan ulasan seni yang dipublikasikan di berbagai surat kabar serta jurnal yang terbit di Indonesia dan di luar negeri: Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Horison, Suara Merdeka, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Poetika, Kedaulatan Rakyat, DetikSport, Jurnal Ruang, Gong, Lampung Post, Bangka Pos, Hai, Nova, Hakka Monthly, dll. Tahun 2016, menerima beasiswa residensi penulis di Taiwan dari Menteri Kebudayaan Republik China Taiwan, dan tahun 2018 menerima beasiswa residensi ke Belanda dari Komite Buku Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
http://sastra-indonesia.com/2020/03/puisi-sunlie-thomas-alexander/

Puisi-Puisi Amie Williams

$
0
0
ADUH!

Kilah tak kurangi keluh
masih terdengar suara gaduh,
bersilat lidah sampai berpeluh
saling teguh bersikukuh. Haa...
jangan-jangan saling bunuh!

Di luar para kurcaci mengaduh
itupun takkan menjadi pengaruh
pandega berkata ‘mbah-mbuh’
mungkin ini pertanda brubuh.

23/02/2015



JERITAN HATI

Duh Ayah Ibu,
mengapa ini terjadi
masa depanku
tak lagi biru
bahkan terlihat abu-abu.

Apa salah dosaku?
lahir pun bukan mauku
andaikan kutahu, hidup
hanya menelan empedu
urung membuka mataku.

Apakah suratan takdir
telah tertulis di buku waktu
anak-anakmu menahan kelu
: kebiadaban membelenggu.

Duh Ayah Ibu
curahkan sayangmu
berilah rasa aman
pada anak-anakmu
menjalani kehidupan
di belantara jaman maju,
namun segalanya semu...

Jangan biarkan anak-anakmu
terkapar tapaki tangga waktu
: raihlah bersegenap hatimu.
Janji manis masa depan biru
sepenuh cinta setulus kalbu.

11/07/2016



LELAH

Lelah menggapai asa
walaupun tahu
adanya tergolek pasrah,
sementara malam
memagut sepi.

Tangan pun tak teraih
gontai berkesiur angin
berkepanjangan, lelah
dambakan istirah.

Pelukan malam erat
menyesak resahnya
menyemai gundah.

Ada
tanya menyentak lamunan
lanjutkah ayunan langkah.

12/04/2017



GUNDAH

Tertatih
tapaki lorong waktu, kanan-kiri tebing
jurang curam siap memangsa apa saja,
guguran dedaunan melenggang manja
isyaratkan kepasrahan jiwa-jiwa.

Lolongan srigala mengiris gundah
menelan keberanian, tenggelamkan angan.
Malam kian menggelepar ke arah cakrawala
ketika desau angin menyibak rimbun perdu
lamunan, ambyar berkeping-keping
berserak tak lagi tumbuhkan hasrat
tiada ingin menyapa
tak jua berharap malam menghilang.

Sunyi menyungkup ujung dedaun kopi
diam dalam keramahan bintang-bintang,
bulan tersenyum pucat ucapkan salam
pada kerikil-kerikil dingin di jalanan.

03/04/2016



KETIKA ITU

Duaaarrr ... duaaarrr
suara-suara itu terdengar
terhenyak tak bisa berkata,
hilang kesadaran ... bengong
berhamburan lintang-pukang
panik... bingung... berbuat apa...

Ketika sadar... Dhuh Gusti
apa yang telah terjadi,
korban berjatuhan sana-sini
darah mengalir basahi bumi
nyawa-nyawa melayang
saudara-saudaraku mati.

Itulah kenyataan yang terjadi
setiap saat terciptalah tragedi
tanpa belas kasih sama sekali
sampai bunuh saudara sendiri.

Di mana letak nurani?
Marilah bersatu hati
hancurkan terorisme
di muka bumi.

10/02/16



MARI BERGANDENG

Apa yang di benak
ketika engkau bertindak,
laksanakan serentet kehendak
naluri yang telah diperbudak.

Penghancuran tanpa alasan
katamu surga jadi incaran
itukah pendalaman iman
tanpa dasar kebenaran?

Nyawa teregang di jalanan
tubuh-tubuh bergelimpangan,
darah segar mengalir berceceran
orang-orang tak berdosa jadi korban.

Ambisi misi biadabmu sungguh
menyakitkan seluruh bangsamu
alasan apapun jelas-jelas keliru
kami bersatu tekad melawanmu.

Hai kaum teroris, kami cinta damai
Tak ingin disakiti pun menyakiti...

Marilah sama berbakti pada negeri
saling sayang berbagi kasih sejati
Kasih Tuhan yang Maha Tinggi
dengan segala kerendahan hati.

10/02/16



MELAMUN

Sepi melayangkan angan,
sekelebat bayangan datang
menyapa lembut keheningan.

Bagaimana kabarmu dinda?
kuterpana, tak kuasa untai kata,
hanya butiran bening mewarna
air mata debur gelora samudra.

Angin malam mengelus gundah
akankah mampu menghiburnya?

Malam pun semakin pekat
jelajah mimpi telah lewat,
mata pun hati terus terjaga
mencoba mencari makna.

19/04/2020/



RENUNGAN PAGI

Desau angin menyingkap kabut
menelanjangi hening bening pagi,
sejuk segar menelusup rongga dada
menyeruak tirai kabar berita gembira
menyongsong datangnya dengan ceria.

Tampak kilauan embun bening
terhampar jelas di rerumputan
berhias kerikil kejam hitam,
onak duri tajam menghadang
bukan alasan surutkan langkah.

Tapaki tanah-tanah basah
hidup penuh kumpulan noktah
kuning hitam putih dan merah
buanglah lepas segala gundah
pilih terbaik yang paling ijabah.

26/04/2020



RINDU

Di hening malam ini
kubersimpuh di haribaan-Mu
tumpahkan semua isi hatiku
mengharap dekap Kasih-Mu.

Tuhan, peluk erat tubuhku,
jangan lepaskan sedetik pun
: aku haus Kasih Sayang-Mu
sejuk laksana tetesan embun.

Tuhan, ulurkan Tangan-Mu
gapai aku dalam Cahaya-Mu,
biarkan terang mewarnai hatiku
menapaki jalan sisa-sisa waktu.

25/04/2020



MATA HARI

Masukkan sinarmu
dalam relung hatiku
penghangat tungku sukma
jangan berkeputusan dekat
tebarlah senyum ramahmu
di kerinduan tak berujung
di setiap helaan nafas memburu
luas langit yang tampak membiru.

27/05/2012



KETIKA ANGIN MENDERU

Angan tergapai tangan sang bayu
terhenti sesaat gejolak hati termangu
kembali berputar mengelilingi langit biru
menepis kenangan-kenangan biru masa lalu,
raihlah sebentuk impian-impian di sisa waktu
mengharap jatuhnya hikmah penyejuk kalbu.

25/05/2012

Amie Williams, nama aslinya Sri Ambar Susilowati, lahir di Ambarawa 1Januari 1956, seorang pensiunan kemenkeu yang gemar menulis gurit, tembang macapat, cerkak, dan puisi. Beralamat di Dsn Tegalrejo rt3/rw3, Bawen, Ambarawa, Semarang.

Puisi-puisi Frischa Aswarini

$
0
0
PETANG PENUH PUJAAN
            : Desa Tenganan

Bila ini sudah waktunya,
Maka menarilah
sebagaimana biasa
Seperti dedaunan
pada bukit dan hutan kayu

Atau tirukan suara kuda itu
yang menyisakan penggal jejak
di dinding batu
Desa tua ini

Di mana seekor lebah
            tertidur lelah
            di ujung atap
Mengigau tentang kemilau embun
yang jatuh di rambutmu
di petang
penuh pujaan ini

Menarilah bagai
Setangkai ranting
di mana alunan surgawi
mungkin menghanyutkanmu
ke mata air

Kembali pada ruh
Kepada tubuh
tak tersentuh

yang menyelipkan namamu
di celah indah sebatang pohon
tempat tinggal para leluhur

Sentuhkan jarimu
pada genang cahaya
dan junjunglah doa ini
Hingga tak ada dewa
yang memberimu dosa

Ujarkan pula padanya
Tentang wangi dupa
            dan asap bunga
yang mengawankan angan
masa depan seorang belia
atau seekor lebah tua setia
yang mati sia-sia

Menarilah saudaraku
Seperti nyanyian surgawi
Seperti ingatan pada leluhur
yang tak kuasa
tiada



POTRET DI ATAS MEJA

Aku tak bisa menulis sajak
seperti sajakmu
walau malam khusuk
dan kenangan tersedih
menarik cemasku

Tak ada lagi perasaan menggebu
dan kata-kata
yang ingin disusun ulang
jadi serindang pohonmu

Aku hanya menatap potret anak kuda
lari di atas meja
di bawah nyala lampu
yang menerangi pertanyaanku

Dunia menampung dongeng indah
yang belum terbayarkan oleh kenyataan
Apa puisi cukup puas menyadurnya?

Pada perpustakaan
kutemui uraian pengetahuan,
penjelasan aneka ilmu
                        dan hakikat manusia
Bagaimana puisi mesti menggali?

Aku telah jatuh hati
pada sajak banyak penyair
dan membiarkannya
jadi pakaian penghangat
yang belum sempat kutanggalkan

Tetapi aku tak tahu
dengan baju apa harus kutemui
puisi paling murni dalam diri

Di atas mejaku, seekor anak kuda melenggang
kepolosannya yang riang
menatap hidup dengan mata bercahaya

Saat itu
aku menyadari
setiap orang memiliki jalan
dan aku tak pilih jalanmu

Aku percaya
sebagaimana imanku
pada keindahan

2012



DINI HARI

Begitulah tanganmu
menyamar waktu
Melambai sepenuh sungguh
Serupa kepak sunyi
seekor burung
    yang sendiri

Bukanlah lagi secangkir kopi
Menemaniku di tiap denting
dini hari
yang berayun lambat
di taman kota

Tetapi justru bayangmu
Pada tetes cahaya bulan
dan sisa bir semalam
milik si tua pucat
yang lelap
di bawah tiang lampu jalan

Kaulah stasiun tujuan
bagi seorang gadis
dan tiket terakhirnya yang basah
oleh embun
sebatang pohon mati
atau angan seekor katak
yang lupa cara melompat

Begitulah lonceng seketika berbunyi
dan siapapun bergegas kembali
ke rumah tua
            yang abadi

Menuju tempat kelahiran,
            ingatan masa silam yang urung usai
Atau sebuah taman penuh kenangan
di mana tak seekor ulat pun
menyelinap di pucuk kuldi

Atau mungkinkah
segalanya cuma kisah?
Tak seorang pun
akan kembali menjadi dirimu
menyamar mawar, atau
kepak pilu seekor burung

Tak ada tiket-tiket penyeberangan
bagi harapan di hari kelahiran yang baru
tak ada si tua
mengigaukan tanganmu yang pucat
dan sisa cahaya telah tumpah
pada tetes
secangkir bis yang terakhir

Begitulah detik selalu berguguran
Di sebuah taman
            di kota ini
Di satu dini hari
yang sungguh
serupa dirimu



SEBUAH PAGI

Ini pagi yang cerah
bagi gadis kecil itu
yang mengayuh sepeda
menuju sekolah

Pukul 07.30
duduk berkeringat di bangku kelas
rok lecak kena bercak air lumpur
di bawahnya, sepasang sepatu kumal
malu-malu terdiam
Seekor semut mengintai
terlalu kepingin tinggal di dalamnya
sebab dunia di luar sepatu
seringkali lebih sengit dan muram

Ada kotak mungil
di kantung baju gadis kecil
tempatnya menyimpan bekas permen karet
dan wajah-wajah rahasia
untuk sebaris sajak tak selesai
yang ingin disimpannya hingga dewasa

Pukul 09.30
tiba waktu istirahat para guru
anak-anak berlarian keluar
gadis kecil bermain lompat tali
jalinan karet yang rumit
semoga hidupnya kelak tak sepelik itu!

Sekilas tampak bersuka cita
dengan mata paling riang
coba melupakan makan siang
Nasi dan lauk buatan ibu
masih setia menantimu
tahanlah sebentar
sampai berdentang
lonceng waktu pulang

Gadis kecil kembali ke bangku kelas
belajar keras
saat bosan, berayun-ayun sepatunya
mengetuk-ngetuk pelan kaki meja
Tetapi seekor semut terbangun dari tidur
menggigit jari si gadis
dan seketika ia kesakitan
seolah tersadar akan belantara dunia
yang kelak bakal ditempuhnya
dengan laju waktu dan doa ibunda

2012



KOTA INI

Kota kecil ini
seperti bibirmu yang ragu
di malam itu

tiap jalan menitipkan bimbang
ingin mainan sekadar riang

tak ada yang bertanya
pada pohon – pohon
yang juga ingin sekadar basah
sebab hujan jarang datang

Kota ini
seperti sepatuku
di bawah terik matahari
ingin berlari
ingin sembunyi
tapi terlanjur ingin



DUA TUKANG SAPU

Dua tukang sapu
menyeberang jalan
pagi itu

kembali untuk hari
bagai doa pohon tua
dua tukang sapu
bertukar gurau
waktu lembab di topinya

sebelum tiba di seberang
daun gugur seperti biasa
lampu padam pukul enam

dua tukang sapu
berteduh di sela pohon
mengingat nama-nama anaknya
sementara seekor kumbang
meniru bentuk sayap
            yang tak lagi dimilikinya

cahaya pagi meluncur
ke dalam angan
membentuk sepotong roti
untuk mereka bagi



DI KATYN
: Lech Kaczynski

Layangkan sayapmu
di keluasan Smolensk
hingga kabut lenyap
melesat ke hutan
atau larilah ke kapel
mencari pengharapan

Seperti laba-laba meluncur dari sarang
melilit di tangan sebuah patung,
mengintai kupu-kupu liar
terbang sendiri di hutan sunyi

Apa yang tersulut dalam benakmu
Menuju angkasa Rusia
untuk 70 tahun sejarah kelam
sementara di awan tak tertera tanda bahaya
dan setiap nujum terabaikan?

Apa yang tersisa dari ingatan
menjelang datangnya kematian?
Kenangan klasik di waktu kanak,
masa gemilang saat dewasa
atau ribuan ruh rakyat
yang hendak kau akrabi kini?

Seekor laba-laba tersengat lebah yang mabuk
keduanya mati
tak sempat mengingat pohon pertama
tempatnya dulu dilahirkan

Pada batu dan tebing
tersirat segala kisah
juga senyap suara senapan
dan desing waktu

Melaju di keluasan Smolensk
Kau dengar suara sungai di kejauhan
Seperti ribuan tawanan perang
menyaksikan cahaya pagi
tanpa rasa sakit
tanpa luapan harapan

Di Katyn
setiap kisah punya makam
di mana kupu-kupu istirah
menunggu kabut lenyap
atau sarang laba-laba penjerat

2012


Frischa Aswarini, lahir di Denpasar 17 Oktober 1991. Mahasiswa Ilmu Sejarah, Universitas Udayana. Kini aktif dalam kegiatan kepanitiaan dan berkesenian di Komunitas Sahaja, Denpasar. Puisinya pernah dimuat di Bali Post, Jurnal Sundih, Pikiran Rakyat, Tempo, Kompas, dan telah dibukukan, termasuk dalam antologi puisi bersama Kampung dalam Diri, Temu Penyair Muda Lima Kota (Payakumbuh, 2008), antologi puisi Temu Sastrawan Indonesia II Pedas Lada Pasir Kuarsa (2009), beberapa sajaknya diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis dan dibukukan dalam antologi Coleur Femme, Forum Jakarta-Paris, Alliance Francaise (2011).
http://frinjan.blogspot.com/2012/09/puisi-puisi-frischa-aswarini.html
Viewing all 109 articles
Browse latest View live