Quantcast
Channel: Puisi-Puisi Indonesia
Viewing all 109 articles
Browse latest View live

Puisi-Puisi Ahmad Zaini

$
0
0
http://sastra-indonesia.com/
Malam Renungan

Kerlip lilin di hening malammu
menyinar kepak sang merah putih
di tengah renungmu

seulas senyum para pahlawan
hadir di tengah-tengahmu
lalu menetes air mata haru

ia hadir menyusupi segelintir jiwa
yang masih mempedulikanmu
menghormat dan mengangkat
nilai-nilaimu

kerlip lilin di malammu
membekas sinar untuk bangkit
memperjuangkan harkat dan martabat negerimu

Agustus 2011



Persembahanku untuk-Mu

telah kuracik menu ibadah
kubersembahkan untukMu
namun aku tak tahu
apakah Engkau sudi menerima
racikan menu ini
hamba pasrah atas keputusanMu
aku hanya abdi yang hanya mampu meracik
sesuai dengan kemapuanku

jika Engkau tidak berkenan
maka aku mohon kepadaMu
agar Engkau memberikan resep
meracik menu yang lebih baik

bumbu keikhlasan dan kesabaran
dalam menjalankan perintahmu telah kuaduk
namun masih tercampur
virus-virus yang menyusup di hatiku

kuharap Engkau memaklumi
racikan menu ibadah hamba lemahMu ini
karena inilah yang dapat kupersambahkan
untukMu

Agustus 2011



Separo Perjalalan

Setengah perjalanan
berteduh di rindang pohonMu
menghela napas lapar dahaga

separo perjalanan
merangkai ceceran hati
di jalan tajam berkirikil

langkah memijak jalanMu
menggapai kemulyaan
melintas di titian iman

ingin kusampai di akhir perjalanan ini
sebuah kedai kenikmatan yang tak surut hidangan
menyuguhkan buah khuldi
arak dan susu laranganMu

Lamongan, 13 Agustus 2011



Ritual Hampa

Setelah beduk maghrib
kau jajar menu sepanjang siang
kau buang

sehari nafsu meringkuk
di tengkuk kering di ususmu
di petang kau jejal gemukkan nafsu kemenangan

lantunan takbir malas kau kumandangkan
terbeban di perut
enggan bergerak

pergantian siang menjadi malam
malam menjadi siang
ritual hampa
tak berarti apa-apa

Lamongan, Agustus 2011



Bisik Daun Malam

Angin berbisik lewat daun-daun
di halaman malam
meniupkan nafas beraroma surga
mengajak ke sana
lewat gemerisik
melantun takbir di malam ini
kumenikmati keindahan bulan
yang melingkari bulan suci

Qiyamullail di bulan ini
menghapusi dosa-dosa
yang pernah tertoreh
di kening ini

dan shiyam di siangmu menghamparkan
kertas suci tak pernah tertulisi

di ujung bulan ini
ada kebahagiaan berhari raya
dan di akhir kehidupan
menunggu kebahagiaan
di hari pembalasan

Lamongan, 3 Agustus 2011



Kedatangamu

Kau datang saat diriku dirundung sepi
dengan membawa sekeranjang bunga
kau harumkan malamku yang dingin

kini malamku merona
dengan kedatanganmu
gigil dingin pun mencair oleh senyummu
bintang-bintang kini menari
menghibur malamku

kau datang saat diriku hampa
dengan sejuta kata kau hujamkan
pada jiwaku yang layu

kedatanganmu
telah mengubah jiwaku
menjadi penuh arti
kerapuhan telah menjadi kekuatan
untuk bertahan dari terpaan badai
kau kokohkan sendi-sendi kehidupan
agar kuat menahan gelombang
yang menghantam

kedatanganmu
telah mengubah segalanya bagiku

Lamongan, 4 Juli 2011



Sepekan

Sepekan terlalu lelah menahan keluh kesah
pada angin yang membelai ilalang
kutumpahkan isi jiwaku

aku ingin terlepas dari beban
di luar ruangku
aku ingin terbang tiada beban
menikmati kepuasan
yang tertunda

24 Mei 2011

*Penulis adalah peserta parade baca puisi “Kidung Nagari” HUT Jatim 2010 di RRI Surabaya

Puisi-Puisi Jusuf AN

$
0
0
http://www.suarakarya-online.com/28 Mei 2006
Pentas Mini

I.
Kami arak keranda negeri setengah mati
siang-siang itu, keringat buncah
kacaukan pupur yang mengubur
wajah-wajah gelisah

II.
Aku lantangkan sajak-sajak kesaksian luka negeriku
agar kau mendengar
dan tersadar dari tidur panjang
kosong impian

Siapa larang turun jalan?

III.
Begitulah,
pentas itu pun usai
langit hujan abu
kematian
sajak yang aku lantangkan



Di Mana Pagi

Sungguh riuh ini hati
bermacam angan minta dikeloni
sejak subuh hingga subuh lagi
aku lari-berlari

Kirimi aku api
biar aku telan cahayanya
kutampung asap
dalam tabung dosa
akan aku minum embunnya

Deraskan kali kalimatku
dan terangi mata hijau ini
agar panen ladang kata
kian ruah bagi negeri
juga diri

Aku lari-berlari
sejak subuh hingga subuh lagi
matahari sebar gulali campur duri
bulan sembunyi
mengantuk jelang pagi

adakah pagi?



Sajakku, Sajakmu

Sekuntum sunyi mekar
pada dua belah matamu yang senja
sebelum kau rampungkan sebuah sajak
tentang stasiun renta di ujung kota

"Gerbong kereta kita masih tergagap
diterowongan gelap,"
katamu. Terjulur pilinan tambang dari dadamu
berusaha menariknya

"Bukankah ia masih melaju?"
maka biarlah!
duduklah santai pada koridor
stasiun pertama menunggunya
akan kurampungkan sajakku untukmu
dan kaurampungkan sajakmu untuknya

Menunggu, ah menunggu
seumur hidup kita menunggu



Lingkaran di Dadaku

Di dadaku
ada banyak jalan melingkar
tak tentu hari aku tapaki
searah jarum waktu, selalu
kudapati serak mimpi
tusuk duri

setan tertawa

Ketika pagi terjaga
kubasuh ketiak hari
kuramu pagi dengan gerusan
matahari



Negeri Setengah Mati

Lihatlah
deret kubur di pulau ujung
air-mata air-mata pengungsi
kering keringat petani
dasi pencuri bernyanyi

Ciumlah
wangi kenanga lukanya
pesing kencing pemabuk harta
darah sisa sara siasia
Dengarlah
gelegar petir riuh angin
guruh lagu burung hantu
letup pistol memburu, diburu
teriak-derap-pyar, pecahan kaca

Negeri ini setengah mati
sementara kau, senang hati menjadi saksi



Waktu: Tak Tik Tuk

Waktu: tak tik tuk
merutuk
tak juga lelap mataku
sisa hujan masih menitik
bunyinya seperti ketika aku
memberi titik kata tik-tik.
Sempurnalah sunyi malam
jam 23 lewan sembilan

Waktu: tak tik tuk tok-tok
Siapa mengetok hati yang terpanggang oleh lengang
Hingga mataku enggan memejam
jam-jam-jam
jiwaku bagai terhujam

Waktu: tak tik-tuk lap
Ada yang lenyap dan kembali datang
sunyi senyap dan batang-batang sepi, bergantian
hatiku kian matang terpangga

Tentang Penulis:
Jusuf AN lahir di Wonosobo, 2 Mei 1984. Puisi, cerpen dan esai-esainya dimuat di berbagai media massa. Cerpennya, Sumur tampil sebagai juara I lomba penulisan cerpen BEM-Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Kini aktif di Sanggar Jepit dan beberapa komunitas pecinta seni sastra.

Puisi-Puisi Chavchay Saifullah

$
0
0
http://www.jurnas.com/
jakarta, aku pulang!

jakarta, aku pulang!
sore ini aku kembali dalam pelukmu
mari kita minum kopi hitam sambil mencicipi singkong rebus
tenang saja, aku tak kaget dengar kabar banjir kiriman
aku ini kelahiran jakarta
sudah lama kudengar soal-soal seperti itubanjir kiriman adalah soal sepele
ciliwung marah, jati luhur ngambek, cisadane pundung
itu semua soal sepele
persis seperti kabar jebolnya bendungan katulampa di bogor
atau mampatnya jutaan sampah di manggarai

jakarta, aku pulang!
sejak menjelma sarang tawon
memerankan pasar yang gemerlap
kau terus dihujani nafsu dan amarah
hujan korupsi, peluru, darah, dan tangis menyatu
menghantam sekujur tubuhmu
doa-doa tak kuat lagi jadi tiang
kau dijadikan daratan penimbun barang

jakarta, aku pulang!
sore ini aku kembali dalam tangismu
sudah sekian tahun kulihat airmatamu
orang-orang terlalu karut marut
jerit bayi-bayi tak lagi menembus sunyi

jakarta, aku pulang!
aku ingin menggambar belati di antara
kopi hitam dan singkong rebus
namun apa daya
belati itu masih saja bersarang di jantung bayi-bayimu


lagu bulungan
-- kpj

orang-orang di bulungan memetik gitar
awan hitam merambat
langkah kaki menjulang

orang-orang di bulungan menyanyi
perlawanan pun dimulai
orang-orang di bulungan tertawa
dahaga hilang dalam rasa

di bulungan ini,
aku melihat awan hitam merambat
namun orang-orang di sini masih setia
pergi menengok luka matahari


negeri kelakar

baru saja bersalaman
orang-orang di negeriku bisa saling lupa
mata pisau nyalang tatap sangkar paru-paru
anak panah loncat sergap detak jantung
belum lagi tajam tombak dan panas peluru yang tiada henti
menusuk hati, merobek dada zaman

baru saja bersalaman
orang-orang di negeriku bisa saling tikam
catatan dan mulut janji terbakar di lubuk dendam
bau darah yang sama, yang anyir di masa lalu, menjelma bara

di negeri ini,
kata-kata saling menipu
kehidupan berputar di tengah kalang munkar
di jalanan selalu muncul karton-karton berbisa
benda-benda mati disulut api
aku takut, tapi aku tak bisa menutup mata

negeri kelakar, musnahlah wajahmu!
hadirkanlah indonesia indah detik ini juga!



dian musim kelana

o, dua renjana membumbung
sepasang kekasih memeluk hujan di balik cinta berdentang
langit masih mendung
namun tidak begitu gelap
kerinduan hangat yang lama dijaga
lidah waktu menjulur ke batas-batas tangis
yang perempuan terbang seperti merpati
yang lelaki berkelahi seperti ayam jantan
dian malam itu hampir padam
namun masih juga terjaga

sepasang kekasih jadi unggas malam yang bingung
yang betina terkulai di atas kasur
yang jantan mencari ramuan orang desa
keduanya menatap kelam
suara-suara resah tak bertuan terbentur dinding
terkoyak tetesan peluh yang netes dari bibir tak lagi merah
sepasang kekasih bertaruh nama di pojok kamar
keduanya tak lagi menyebut dosa

dian musim kelana
di akhir rindu dan tangis sepi
sepasang merpati terbang pulang ke sarang masing-masing
keduanya lama ditunggu waktu
yang betina berjalan gontai kehabisan darah
yang jantan berjalan cepat menghapus dosa
namun angin sore yang ribut
tetap mencatat kisah sepasang merpati
pada tugu kelana yang resah
di suatu akhir tahun yang lapar



tabik penyair

aku ingin bertanya kepada penyair:
masih adakah yang baki dalam sebuah takdir?
sendalu malam kian bertaring
curah hujan betapa suka mematah tangkai bunga
menyeret puntung-puntung rokok
bahkan rumah-rumah kayu di mataku

aku ingin bertanya kepada penyair:
bilakah awal tari telanjang musim trompet
mencampak jerit gulana orang-orang sisa?
masihkah takdir serupa sendalu
menyisir sunyi dari gema perigi?

remuklah tanyaku
muncratlah raguku
rasaku gelap
gelapku senyap
jalan-jalan semakin berliku:
mungkinkah semua ini berarti awal redam
awal perjalanan di mana segala cita harus jatuh ke bumi

dingin sudah terlalu dingin
malam sudah terlalu malam
keadaan menjadi lembab
kebisuan menjadi raja
maka biarlah kubakar kata-kata ini
biar sekalian ada yang menyala
biar sekalian ada yang membara
sebab dalam malam dingin yang kaku
aku suka menjadi saksi
aku suka menulis syair
namun beginilah jadinya:
aku seperti mati di mulut harimau!

Chavchay Syaifullah lahir di Jakarta, 01 Oktober 1977. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, naskah teater, dan lagu. Buku-bukunya antara lain: Multatuli Tak Pernah Mati (Kumpulan Puisi), Payudara (Novel), Sendalu (Novel), Aotar (Novel), Perlawanan Binatang Jalang (Esai). Bersama kelompok musik REMPAH ia merilis album pertama Tetap Ada Jalan (2004).

Puisi-Puisi Usman Arrumy

$
0
0
http://sastra-indonesia.com/
SUNYI FANA

kubaca tubuh fanamu dengan abjad yang berderap
sebab aku takjub pada seluruh hidup yang berdegup

kupersembahkan diriku kepada kau yang penuh olehku
karena aku adalah udara yang kali pertama kau hela
kurenangi ruh dan tubuhmu agar kau tak berpeluh
meski kau jauh namun kau hendak selalu kusentuh

kadang kubayangkan kau adalah angin yang bernafsu memasukiku,
kadang juga kau adalah air yang mendamba berarus di urat nadiku,
berkalikali kau menjadi api yang menggali sepi agar hangat meriap,
karena kau…seluas paras cinta.

kuburu suara sunyi yang tersibak dipuncak bunyi
jatuh ke dalam jurang jantung
terjerembab di gurit dan bergaung
namun aku tetap mengembara sebagai cinta
di separuh liang ruhmu yang benderang

pare kediri 2012



YANG MAHA FANA

aku fana di dalam cinta yang menghela-hela luka
aku pudar di dalam pendar aksara yang terjelma dari bara

kau penuh oleh puja yang kudamba jadi hawa
kau hujan yang mengibas perlahan di dahan

sekalikali kubaca wajahmu yang termangu sebab seluruh kataku adalah rayu
kutembus segala yang halus agar seluruh wujudmu adalah rindu

barangkali pujaku sefana dirimu
kubiarkan diriku mengada di dalam mimpimu
agar kau selalu trenyuh jika kusentuh

kuikuti arus kata yang hembus dari luka
kuingat matamu menyelusup selembut cinta
namun diamdiam aku mengidam
oleh dirimu yang berkabut di kedalaman malam

aku yang maha fana di dalam dirimu yang nyata
berjalan menuju hulu rindu
dan aku bergaung di selaksa cinta paling agung

23.03.2012. pare kediri




MARWAH

gumpal gairah kekal di marwah, senantiasa rinduku terulur dingin seperti kesiur angin, sebab aku tahu, kau terkisah dari kasih menjigrah putih.

tentangmu, selembut gurat dalam takjub berabad, aku tersadur dari sadar yang menjulur samar, ketika jeda, berlarat-larat jerit muncul dari geriap yang mumbul jadi bersit.

cahaya itu, rimbun di matamu, seperti rumpun bambu mengulum sekian debu, bagai waktu, kuselusupi gerai rambutmu hingga kuku kaki.

jiwa ini terlalu jumawa untuk kesekian kali jumbuh tersepuh ruh, dan cinta ini, selalu berkelit di ketinggian langit, mendamba jatuh di dalam jantungmu.

16 april 2012 demak




SEMBILU

Ia biarkan aku mengembara di lorong hampa
menghayati betapa sepi lebih panas ketimbang api

Ia bebaskan aku berkelana di bawah bulan yang begitu remang
merenungi betapa rindu ternyata lebih sembilu ketimbang di sentuh pedang

kuaruskan rinduku ke lurung urat nadimu, agar darahmu mengalir.
kusemayamkan cintaku di jantungmu, agar nadimu berdenyut

kuurai nafasmu sehijau lumut di atas batu
kusibak kusingkap palung dirimu agar kaubencah menjadi rindu

kaurenangi sela ronggaku
nuju segara meremas aku
kauselami relung lubukku
nuju hulu tamatkan aku

27.04.2012 april Demak

Puisi-Puisi Eko Hendri Saiful

$
0
0
Tabloid Seputar Ponorogo, edisi 24, 19-24 Juni 2012
Arum untuk Ayahku

Kuucap dikala hening bersetubuh dengan anganku
seperti mata sepasang pengantin
atau tatapan  rindu di malam pertama
waktu malam hampir memencar, menunggu purnama bersenggama
akupun tertidur dipangkauan ayahku

Aku mengerti
Betapa dalam dalam ruang kesempitan
Aku menangis
Mengingat ayahku yang tersenyum rindu
kini ia mengapung di tengah telaga
menunggu datangnya angin mengundang badai
tak lebih seorang anak
mengejarnya dengan dayung permata
menyiram arum di tubuh ayahku
Hingga ia berkata ’’aku ayahmu, dan engkau anakku’’

Tajuk, 27 Maret 2012


Senja Kian Mengapung

keremajaanmu membuat ku tertegun
lalu khusuk memandangi kening polosmu
sutra  lembuat berakhir di setiap tatapan
bermula keteduhan, rindu itu

senja mengapung
bersampan dari pulau  tiga dayung
mulut buaya  menganga menantang di samping kangkung
menunggu aku dan engkau masuk mulutnya

gua pertapa, titisan gua hiro
seperti tangan kanan sang nabi
setetes air mata bercerita di alam mmpi
tentang cinta, tentang hati, dan tentang kita
tentang nadi lelaki terjajah

Tajuk, 27 Maret 2012



Lelaki Terjajah

bagi seorang lelaki yang lahir dizaman kolonial
janganlah engkau menjelma menjadi lelaki  modern
sebab kebebasanmu ialah segelintir kepalsuan
sebab engkau kawanan kijang terancam panah
kakimu tertakdir lahirnya darah

______________
Eko Hendri Saiful, esais, cerpenis, dan tukang sapu di Rumah Motivasi ‘’Spectrum’’ Ponorogo, Indonesia.

Tragedi Karna

$
0
0
Andry Deblenk

(1)
Merambat tank Karna
menyisir perbukitan Kurusetra
melewati dengkur burung hantu.

Sombong derap laju
mengaum gusar
menuju padang
menuju tanah lapang
menjemput kemenangan harapnya.

Di pagi itu
matahari mangabar gelisah
rapuh dedaunan terbakar amarah
Karna,
terlihat perkasa dengan seragam militer
sepatu boatnya mengkilap
M16 terpajang di pundak
revolver di pinggang kiri kanan
juga helm,
kaca mata hitam,
rompi anti peluru,
mortir,
kian lejitkan reputasi

(2)
Hari ke tujuh belas ini
perang teramat istimewa
sebab Karna
sebab Arjuna
meramu benci dalam gelora.

Karna berapi
matanya seperti matahari lapar
”Bawa aku ke Arjuna paman!”
Perintah Karna
perlahan kemudi Salya
mengarah pada tank Arjuna.

”Lihat kinerja Arjuna”
”Ya, aku melihatnya paman”
”Betapa ganas bukan?
Ia memang prajurit jempolan
dengar saja desing pistolnya?
mendebarkan,
seperti teriakan malaikat
mengundang kematian.”
Puji Salya.

”Aku tak gentar!
Kenapa kau ini?”
”Aku hanya mengapresiasi,
sebab dalam sejarahnya,
musuh terhebat pun
takkan lepas dari pelatuknya.”

Karna terdiam
sorot matanya merupa api.

”Aku hanya menjalankan darma,
sebagai prajurit pilihan paman.”
”Aku mengerti anakku,
tapi lihatlah gairahnya?
Seperti Ramboo bukan?”

”Aku tak peduli kinerjanya.”
”Jangan menutup mata anakku”
”Tidak!
Aku hanya menjalankan perintah.”

Matahari membakar gelisah
desis angin manunda resah.

”Wow, luar biasa!
Cermatilah, lima prajurit tewas seketika.”
“Ah, saya juga bisa paman.”
“Benarkah?”
”Jangan rusak konsentrasiku dengan statementmu”
”Apa kau gentar panglima?”
”Gentar? Bukan Karna namanya.”

Karna menatap penuh dendam
teringat harga dirinya
pada ejekan Arjuna.

(3)
Jam sebelas siang
angin bertiup malas
matahari tampak sombong
mengumbar terik pada siapa saja
tank Karna
tank Arjuna
melangkah cuek
melewati asap pekat
melalui mayat berserak.

Tank mereka bersua kini
seperti tatap muka dua monster
keduanya menyeringai
buas beringas.

Angin berhenti seketika,
matahari malu sembunyi.

Medan perang
menunggu hujan menyapa
menyiram bara perang
menyapu darah yang dibuang cuma-cuma
pepohonan kini menjelma arang.

Kurusetra merupa neraka
memuntahkan amarah
pada tendensi kekuasaan
perang,
membawa gairah
mencipta resah.

(4)
Di garda depan
Arjuna menarik pelatuk pistolnya
pelurunya muntah ke angkasa
desingnya mengabar kematian.

Karna membalas
revolvernya angkat bicara
pertanda perang tunaikan nafsunya.

Sekejap kemudian,
baku tembak tak terelak
menggaris ngilu di ujung haru:

Arjuna
Karna
Karna
Arjuna
saling menembak, berkelit dan menghindar.

(5)
Menjelang ashar
peluru Karna lapar
menyambar pistol Arjuna

”Lihat paman!”
Karna sesumbar
Salya terdiam berdebar.

”Itu baru perkenalan.”
”Ah, itu keberuntungan.”
”Beruntung katamu Presiden Madra?”
”Ini belum akhir perang, anakku.”
”Lalu seperti apa harapmu?”
”Perang hanya menyisakan satu jagoan.”
”itu teorinya, tapi lihat prosesnya?”

Matahari malu cahayanya
angin enggan menyibak daun-daun
Salya terdiam
gemetar risaunya terhampar.

(6)
Jam empat sore
matahari semakin malu menyala
angin enggan menyibak dedaunan
roda kiri tank Karna
pecah secara tiba-tiba
sudah uzur barangkali
atau teknisinya kurang cakap, mungkin.

Sekonyong Karna lengah
tak sadar ia akan peluru lapar,
menyambar
kaliber 50 menembus kepalanya
tubuh Karna terhempas
terjerembab di tanah keras.

Matahari tampakkan nyali
sebab kini ia bersaksi
seorang pejuang tak berkutik
lemah dimangsa perang.

Angin yang semilir
seolah ikut termenung
mengurai deras air mata.

(7)
Malam berdendang
di medan perang
di antara tumpukan mayat-mayat
ada banyak nyawa teregang
berkelojotan
mengumpat kenyataan.

Seorang perempuan tua
menangis sesenggukan
memeluk jasad tak bernyawa.

Angin bertiup kencang
menyapa sinis keadaan
salak anjing dan serigala
segera menanda pesta pora.

Sesosok tubuh
menghampiri perempuan itu
penuh tanya
sarat teka-teki,
ia terperangah
ada halilintar menghentak dadanya.

(8)
Malam kian larut
rembulan tersenyum
menyapa siapa saja,
angin bertiup sederhana
lembut menjamah dedaunan.

Tersedu tangis Nalibrata
teringat ia pada dosa
perlahan,
basah mata menatap masa lalu
mencumbu kenangannya.

***

Diremang malam
ditemani sepasang lilin
seorang putri jelita
sibuk menjajal anugerah
hadiah Durwasa
orang sakti bertitle profesor.

Duduk bersila
tangan Nalibrata menengadah
bibir mungil menari manja
merapal Adityaredaya.

Sontak tubuh menggigil
angin berhembus kencang
pepohonan menari penuh gairah.

Sedetik kemudian,
cahaya merupa matahari
menghampiri,
memeluk tubuh sintal Nalibrata
perbincangan pun terjadi
diakhir perjumpaan
cahaya itu memberi anugerah
meski Nalibrata tak menghendaki.

Nalibrata,
bermuka gelisah
sebab lambat laun
perut kian membuncit
tubuh pun menambun.

Perempuan itu terdiam
menangis?
Bukan solusi rupanya
aborsi?
Bukanlah metode bijaksana
ia tak kuasa menolak takdirnya.

Sembilan bulan kemudian,
Nalibrata melahirkan rembulan
Karna namanya
lelaki mungil lugu
bola matanya seterang Surya.

Pecah tangis Nalibrata
bersemi pula gusarnya
demi norma
demi negara
Nalibrata hanyutkan bayinya
di arus sungai Aswa.

***

(9)
Rembulan mengejek nyinyir,
desir angin tertawa miris
Nalibrata mengelus dinding istana
dadanya bergemuruh
inginnya melumat cakrawala
menyirami Kurusetra dengan air mata.

Siapa bersalah?
Siapa pemenang?
Nalibrata menghela nafas
Terlampau berat.

Ponorogo, 2012
Dijumput dari:  http://sastra-indonesia.com/2012/12/tragedi-karna/

Puisi-Puisi Afrizal Malna

$
0
0
Koran Tempo, 25 Maret 2012
TAK ADA ARTINYA

Gema suaranya kembali lagi membuat dinding bunyi
Dari suaranya
Berdiri melingkar
Di depan bulatan penuh perangkap waktu
Jari-jari yang menggenggam tikus
Dan perangkapnya di belakang membuat makan malam
Seperti bayangan yang meninggalkan betuknya
Memecah, tertawa, kisah-kisah perang yang
Dimuntahkan kembali dari ketakutannya
Cermin yang menjadi buta ketika melihat
Diding di dalamnya
Dan selembar rambut di atas koran pagi
Air yang menyebrang di atas jembatan
Melintasi sungai
Melintasi tetesannya
Tanpa prasangka di hadapan daun kering yang
Menyimpahn gema dari
Hutannya


TAMU MISTERIUS

Sayang sekali puisi ini telah dihapus ketika aku akan
membacanya. Seperti udara lembab yang menarik lenganku
untuk memegang yang akan jatuh. Ada apa dengan menghapus?
Lem, gunting, benang yang membuat bayangan tentang kawat
berduri. Aku menghapus kata hapus dari dokumentasi, seperti
keluar dari kawat berduri itu. kembali ke lem, gunting, benang
dari setiap kata untuk menyembunyikannya, menghilangkan dan
menghapusnya sekali lagi. Dan sebuah ketukan tak pernah
terhapus

Tamu itu menduga aku tidak memiliki kursi untuk mati, jika
tidak memiliki lantai untuk hidup. Menunggu. Ditunggu. Janji
jam tujuh malam. Ia suguhkan kata penghapus dari sebuah toko
buku kepada tamunya, seperti bayangan yang terlepas dari
tempatnya. Kamu tamuku yang aku tunggu dari kesalahan
mengetik kata hapus dari sebuah cerita tentang pagi hari
yang cerah. Kau sudah tidak sempat lagi merapikan yang tidak
bisa lagi dihapus, setelah puisi ini. penghapusnya membuat jam
5 sore, tembus hingga tak terlihat lagi kekosongannya


SURAT DARI BIJI KOPI

Bau kopi keluar dari napasnya, seperti jalan lurus yang
bagian belakangnya menghilang. Ia duduk di bagian
belakang dari bau kopi itu. Biji-biji kopi itu membuatnya
Ingin bergerak, antara air yang mendidih dan suhu
yang tak terukur dalam pikirannya. Bau kopi ini untukmu
Menangis, dan membiarkan kenangan membuat bingkai
bingkainya sendiri pada sisa kopi di dasar cangkirnya. Dan
ia kembali duduk di bagian belakang bau kopi, sisa hangat
antara pahit dan manis di lidahnya. “Cinta”, dia seperti
ingin jatuh, telungkup dan menggenggam semua yang
berjatuhan dari biji-biji kopi. Kapal-kapal yang bergerak
sendiri mencari bau kopi, kuburan petani kopi, cerita yang
saling mengunjungi dan menghapus pasir di pantai. Bau itu
mengikatnya lebih dalam dari semua yang mengabur di
depannya, dari semua yang menghilang di belakangnya


MENGGODA TUJUH KUPU-KUPU

Aku tidak berjalan dengan mata melek. Kau pergi dengan mata
tidur. orang di sini membawa beban berat. bukan soal melihat.
Dalam beban itu isinya sampah. Bukan pergi dan tidak tidur.
Kita sibuk mencari tempat membuang sampah itu untuk
mengisinya kembali dengan sampah. Kau pergi dengan mata
tidur. Aku tidak berjalan dengan mata melek dan tidak
mengukur yang terlihat. Kau latihan yoga dan menjadi tujuh
kupu-kupu. Aku melihat kau terbang dan tidak bisa ikut masuk
ke dalam kupu-kupumu. Keadaan seperti gas padat dalam lemari
es. Tetapi tidak ada ledakan. Aku tidak mendengar suara
ledakan dalam puisi ini. Di sini hidup menjadi mudah karena
memang hidup sudah tidak ada. menjadi benar oleh
kebohongan-kebohongan. Menjadi indah oleh kerusakan
kerusakannya. Aku di dalam pelukanmu dan di luar terbangmu.
Membayangkan tujuh kupu-kupu mulai menanamkan sayapnya
dan menanamkan terbangnya. Mengganti bumi pertama dengan
rute sungai marne yang membelah mimpi-mimpimu


PROSES LETUPAN KAPUR SIRIH

Batu kapur sirih mulai direndam dengan air. Bentuk
bentuknya yang seperti batu karang itu mulai
mengeluarkan asap dalam genangan airnya, dan genangan
uap di atasnya. Bentuk-bentuknya mulai luruh, seperti
bukit-bukit melelah dan letupan-letupannya. Akan muncul
permukaan kapur yang sudah berubah menjadi lumpur
putih dan lembutnya yang panas. Lumpur kapur dalam
gelembung-gelembung berasap, suara mendidih dan
letupanya menggenggam uap panas hingga ke ujung
lidahku. Seperti akan nada yang meledak dalam lumpur
kapur itu, dan mengusir bayangan hitam dari letupannya.
Proses ini akan berhenti dan seluruh batu kapur berubah
menjadi lumpur kapur putih kental. Uapnya menatap
dinding-dinding bayangan hitam. Tangan dan kakiku
menggenggam letupan-letupan uapnya. Dan lidah yang tertelan
bayangan hitam.kapur ini panas. Kulit jari-jari tangan
biasanya akan melepuh. Rasa perih dari kulit yang
mengelupas, mengeluarkan kutu-kutu yang mati di
dalamnya. Melepaskan jiwa yang tak bisa lagi terharu,
yang terlalu percaya kepada ketukan pintu dan
membisukan dering telfon. Proses yang menggodaku untuk
mengangkat kamar tidur dan meletakkannya dalam amplop
surat bersegel. Pekerjaan yang rasanya tidak ada gunanya,
tetapi aku melihat proses letupannya ketika melepaskan
tekanan udara panas. Mulut puisi yang memuntahkan
percakapan tentang kepergian. Kamar tidur yang
menyimpan bayangan tentang pelukan dan terhisap letupan
kapur sirih. Satu botol bayangan pintu. Satu botol kapur
sirih. Keduanya mengecat mimpiku menjadi sebelum
bermimpi

___________
Afrizal Malna lahir di Jakarta, 7 Juni 1957, karya-karyanya berupa puisi, cerita pendek, novel, esai, dan teks pertunjukan teater. Buku-bukunya: Abad Yang Berlari (1984), Perdebatan Sastra kontekstual (1986), Tonggak Puisi Indonesia Modern 4 (1987), Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990), Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (1991), Dinamika Budaya dan Politik (1991), Arsitektur Hujan (1995), Biography of Reading (1995), Pistol Perdamaian (1996), Kalung Dari Teman (1998), Sesuatu Indonesia, Esei-esei dari pembaca yang tak bersih (2000), Seperti Sebuah Novel yang Malas Mengisahkan Manusia, kumpulan prosa (2003), Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2003), Novel Yang Malas Menceritakan Manusia (2004), Lubang dari Separuh Langit (2005) dll.
Dijumput dari: http://puisi-kompastempo.blogspot.com/2012/03/puisi-puisi-afrizal-malna.html

Puisi-Puisi Eppril Wulaningtyas R

$
0
0
KISI JIWA

Kisi jendela menangkap kelam,
bersama kering rasa jiwa terasing
; jauh di kedalaman kerak malam
merangkak lemah di sudut asa.

Namun,
asa bertalu wujudkan beribu gema,
membimbing pijakan kaki melangkah
gigih menyisir, getarnya separuh senja
; berpeluk pilu sedari pedihnya rintihan.

Engkau yang di sana,
habiskan masa di kucur keringat
berjuang besarkan anak tercinta
tanpa wajah letih tersirat.


TERUNTUK BUNDA

Sajak di tetesan air mata
tentang doa pengharapan
mengalun berjuta makna
menjemput kabahagiaan.

Maafkan anakmu Ibu,
yang masih terpasung
di tanah perantauan.


CEMARAKU HILANG

Mentari mengintip di ufuk timur
redup cahayanya di sela awan,
cemara meliuk ikuti nyanyian bayu
yang dingin pada pepagi sisi hutan;
tenang, damai tentram menyelimuti.

Ketika manusia serakah menjamah
sedikit demi sedikit hutan terusik
hingga lambat laun
deretannya menghilang.

Demi kekayaan pribadi
mereka kian tak peduli
; buta mata, telinga tuli.

"Ah... dasar manusia serakah"
: gerutu sang rusa bersuara lirih.


BUKANLAH AKHIR

Teruntai kusut anyaman rasa,
di ubun keluh gemuruhnya jiwa
: kala sehembus nafas kembara
di mana terdamba kuatnya rasa.

Duka memelukmu nyawa
merana gontainya langkah,
hempaskan impian harapan
musnah sudah tiada tersisa.

Kau kecap meski berat
sunggingkan kembali senyum,
mengiring teguh hasrat tersirat
: di balik rahasianya ada rahasia.


TEMARAM

Kunang menari-nari
bebintang mengelip,
dikala rembulan malu,
sembunyi di pekat awan.

Pepucuk pinus menggeliat
lincah pada gundah,
resapi helaian angin
sedingin malam sepi.

taipe, 20/4/13


Puisi-Puisi Sitok Srengenge

$
0
0
Kompas, 5 Agu 2012
Kereta

1
Sendiri di Stasiun Tugu,
entah siapa yang ia tunggu
Orang-orang datang dan lalu,
ia cuma termangu
Sepasang orang muda berpelukan
(sebelum pisah) seolah memeluk harapan
Ia mendesis,
serasa mengecap dusta yang manis
Kapankah benih kenangan pertama kali tumbuh,
kenapa ingatan begitu rapuh?
Cinta mungkin sempurna,
tapi asmara sering merana
Ia tatap rel menjauh dan lenyap di dalam gelap
: di mana ujung perjalanan, kapan akhir penantian?
Lengking peluit, roda + roda besi berderit,
tepat ketika jauh di hulu hatinya terasa sisa sakit

2
Andai akulah gerbong kosong itu,
akan kubawa kau dalam seluruh perjalananku
Di antara orang berlalang-lalu,
ada masinis dan para portir
Di antara kenanganku denganmu,
ada yang berpangkal manis berujung getir
Cahaya biru berkelebat dalam gelap,
kunang-kunang di gerumbul malam
Serupa harapanku padamu yang lindap,
tinggal kenang timbul-tenggelam
Dua garis rel itu, seperti kau dan aku,
hanya bersama tapi tak bertemu
Bagai balok-balok bantalan tangan kita bertautan,
terlalu berat menahan beban
Di persimpangan kau akan bertemu garis lain,
begitu pula aku
Kau akan jadi kemarin,
kukenang sebagai pengantar esokku
Mungkin kita hanya penumpang,
duduk berdampingan tapi tak berbincang,
dalam gerbong yang beringsut
ke perhentian berikut
Mungkin kau akan tertidur dan bermimpi tentang bukan aku,
sedang aku terus melantur mencari mata air rindu
Tidak, aku tahu, tak ada kereta menjelang mata air
Mungkin kau petualang yang (semoga tak) menganggapku tempat parkir
Kita berjalan dalam kereta berjalan
Kereta melaju dalam waktu melaju
Kau-aku tak saling tuju
Kau-aku selisipan dalam rindu
Jadilah masinis bagi kereta waktumu,
menembus padang lembah gulita
Tak perlu tangis jika kita sua suatu waktu,
sebab segalanya sudah beda
Aku tak tahu kapan keretaku akan letih,
tapi aku tahu dalam buku harianku kau tak lebih dari sebaris kalimat sedih


Peretas

Seumpama pagi, kita pun lekas pergi
Sebagai sore, kita segera sampai
Dari dan ke pangkuan kelam
Di mana kita jadi penelusur gua gelita
Meraba, menaswir gema cinta
Terpisah dari yang selain desah
Raga melenggang bagai ganggang
Sukmaku menggapai sukmamu, bersitaut serupa kiambang
Larut dalam kelucak ombak pasang
Kulumur landai lampingmu sampai pasir menyerpih
Kudentur-dentur ceruk curammu hingga berbuih
Hingga kau-aku terhempas, terlepas, di altar tarikh
Peramlah separuh perih, sampai kaulihat rakit
dinakhodai cahaya fajar pertama dari kaki langit
Selebihnya biar kusemat di jantungku, betapapun sakit
Sebab, selagi selat susut semata kaki,
kita akan mulai saling mencari
Dipandu denyut nadi
Kuharap kita akan bersua di sebuah bukit hening
yang menyimpan mata air bening, di mana letih terbaring
seluruh luka pulih, seiring kita tandai segala yang asing
Dan di tanah yang tabah itu, hidup akan tumbuh
Kau bagian dariku, aku bagian dirimu, dua jiwa satu tubuh
Senantiasa saling butuh. Tanpa yang lain kita tak penuh, tak utuh


Peladang

Minggu, menunggu kuncup cintaku menjigrah jingga
Bagai bunga angsoka di halaman putih sang kekasih
Senin, senantiasa tanganku terulur serupa pohon nyiur
Menjinjing tempayan berisi sari kasihku sesuci susu
Selasa, selalu lamunanku menjulur seperti sulur ubi
Tekun mengukir kesiur kenang tentangmu di jalur nadi
Rabu, rabuku bergetar sesamar cahaya di marwah mawar
Menggambar gairah meruap harap dengan cinta merona
Kamis, kambojalah aku putih lembut semburat ungu
Hirup harumku sebagai penangkal kalut kalbumu
Jumat, jumpai aku si pucuk buluh membelai bulan subuh
Gugup menggurat gurit rindu dendam sampai sembilu lebam
Sabtu, sabar sekalem kalammu setabah benih berubah buah
Sadar hidup hanya jeda sebelum jiwaku jumbuh kaurengkuh


Musim

Tak pernah henti cinta mencintai
sampai usai tak letih silih mengisi
Dulu
sebelum menyatu
aku bergelar lapar
kau bernama dahaga
Sama-sama baru tiba dari hampa
Lalu
dibimbing waktu
aku melahapmu
kau meregukku
Sejak itu kita bukan lagi yang sediakala
Betapa perkasa cinta
Ia jelmakan kita jadi manusia
Kuhasratkan kau rebah di tanah
sebab aku petani yang tabah
setia membajak dan mencangkulimu
memupuk dan mengairimu
Hingga kau bunting
melahirkan nasi ribuan piring
Kadangkala aku pekerja pabrik gula
merawat ladang tebu
atau menjaga gerak mesin gilingmu
Agar tak cuma aku
tapi semua yang dekat kita
tetap bisa menikmati manismu
Dalam dambaku kau seindah musim basah
selalu murung dan menangis
setiap kausaksikan kawanan burung
meninggalkan hutan tropis yang hampir habis
Kubuka sawah dan kebun
menadah gairah yang rimbun
sebelum kau berpaling sebagai musim kering
membuatku gering rindu peluhmu
Aku bergantung padamu
Tak perlu kuminta kau jadi yang kumau
Cinta ibarat bunga: merekah indah
sudah itu layu lalu luruh demi buah
Petani dan musim
tak terpisah

___________________
Sitok Srengenge, penyair yang juga menulis novel dan esai. Bukunya, antara lain, On Nothing (puisi), Menggarami Burung Terbang (novel), dan Cinta di Negeri Seribu Satu Tiran Kecil (esai).
Dijumput dari: http://oase.kompas.com/read/2012/08/05/13030471/Puisi.puisi.Sitok.Srengenge

Puisi-Puisi Sapardi Djoko Damono

$
0
0
Kompas, 4 Juni 2012
The Rest Is Silence
Hamlet, William Shakespeare

/1/
Apakah kau percaya
pada arwah gentayangan
yang ada dan tiada
di sekitar istana? Apakah kau percaya
ada yang baunya sengit
ada yang membusuk
di sekitarmu?

Apakah kau sungguh-sungguh
mencintai ibumu?
Wahai, Perempuan,
kaulah kaum ringkih itu.

/2/
Pangeran, lihatlah ke luar.
Orang-orang pulang kantor
berkendara motor:
satu, sepuluh, seratus, seribu –
ada yang berteriak
mungkin padamu,
”Bagaimana kabar anjingmu?”
Tak ada yang peduli
dengan siapa ibumu tidur
malam ini.

Mereka tak suka nonton
sandiwara sedih –
hujan yang hampir setiap hari
menggigilkan mereka sudah cukup
menjajarkan mereka
di sudut duka yang baka.

”Apa kabar anjingmu
yang suka menggeletak
pura-pura mati
setiap kali kau bicara
kepada dirimu sendiri
tentang bunuh diri?”

/3/
Seorang perempuan yang lewat
membuka payung dalam gerimis
tak pernah mendengar
dan mungkin juga tak peduli
banyolan dua penggali kubur
di pinggir liang lahat
yang akan menganga
siap menerima masa lampaumu.

Perempuan itu pengin buru-buru pulang
menonton kisah gadis solehah
agar bisa ikut mengusut
rangkaian pertanyaan sederhana
yang tak ada kaitannya
dengan celoteh dua badut itu,
”Apakah memang cinta
yang telah mengirim
perempuan muda itu
ke jalan sesat?”

Perempuan berpayung
menunggu angkot –
kalau saja ia tahu
kisah cinta tak terlarai itu
mungkin akan dikatakannya –
tanpa menimbulkan rasa sedih,
”Itu pasti lebih dikenang
daripada kalau ia masuk biara
yang pasti akan menjadikannya
tak jelas telungkup
atau telentang.”

Sidik jarinya tetap menempel
di sekujur tubuhmu, lihat!
Siut matanya masih terasa
menyambar-nyambar tatapanmu!

/4/
Kau mungkin hanya ragu-ragu
untuk tahu bahwa sepasang badut
itu punya firasat buruk
segera sesudah kau mendarat
di negeri ini;
mereka bernyanyi-nyanyi
memain-mainkan tengkorak
melempar-lemparkan kata-kata musykil
ketika menggali kubur
perempuan muda yang bayangannya
meraung dan mencakar-cakar
dua belah otakmu.

Mereka mungkin saja tahu
bahwa kau hanya berpura-pura
gila ketika itu;
bahwa kau memang tak paham
makna cinta yang kaukumur-kumur
tak pernah masuk tenggorokanmu,
”Yang mati bunuh diri
tak berhak dikubur
di pelataran suci ini!”

Tapi, bukankah kau sebenarnya
yang membimbingnya
ke liang kubur itu?
O, ya, Pangeran – bukankah kau
yang pernah menyuruhnya
masuk biara ketika ia
merasa tak kuasa
menjangkaumu? Padahal!

/5/
Bahwa kau memang tak paham
ketika dulu bilang
ibumu pelacur murahan
bahwa kau tak bisa mengurai
simpul yang digulung
ibumu dan perempuan muda itu;
bahwa kau memang tak paham
kasak-kusuk sebelum kau masuk
ke perhelatan agung
yang tak seharusnya
tapi yang ternyata seharusnya
melibatkanmu;
bahwa adu pedang itu
permainan yang lebih perkasa
dari sandiwara akal-akalanmu.

/6/
Sandiwara yang kaurancang
hanya sedikit menggoyang mahkota,
yang jelata tak diberi tempat
untuk menyaksikannya;
mereka sibuk berseliweran
naik angkot, bis kota,
boncengan sepeda motor setiap hari
tidak untuk menjawab
pertanyaan yang mungkin kausodorkan
kepada arwah gentayangan itu.

Sandiwara hanya keyakinan maya
yang menorehmu, ”Hai,
kenapa gentar pada api maya?”

Kepada siapa sebenarnya
kautodongkan pertanyaan itu?
Kepada arwahmu sendiri
yang akan menutup
perbincangan ini nanti?

/7/
Underpass macet sama sekali
ketika hujan deras turun –
itu, alhamdulillah, sebabnya mereka
tak pernah sampai di gedung
pertunjukan sandiwara
akal-akalanmu.

Mereka buru-buru
ingin sampai ke rumah
menyaksikan sinetron
yang tak berniat menyodorkan
masalah atau tanda tanya
ke kotak kepala
yang sudut-sudutnya
tak pernah tentram
dan karenanya hanya memimpikan
air mata yang melegakan sukma.

Sialan! Hujan tak juga berhenti
macet di underpass menyebabkan
semua tertunda.

Alhamdulillah, mereka tak ikut bingung
meski mungkin suka sandiwara
yang ada adu pedangnya
yang banyak maki-makinya
yang berkilau gelimang darahnya
tanpa harus mendengarkan
ucapan filsafat yang keramat
di tepi liang kubur itu.

/8/
Aku mencintai perempuan muda
yang mungkin bunuh diri itu –
lebih dari segala cinta
yang dimiliki manusia!

/9/
Tentu kaudengar teriakan lelaki
yang bapaknya kaubunuh
dan adiknya mati tenggelam itu,
”Tunggu, jangan timbuni dulu
liang kubur yang kaugali
sampai aku bisa memeluk
sekali lagi
tubuh molek itu!”

/10/
Ada hp bergetar
di underpass:
”sinetron keluarga sakinah
dah mulai mas
km msh di jln
ujan ya
rugi mas ga nonton
haru bgt deh.”
Sialan! Hujan gak juga reda!
Padahal hanya dalam sandiwara
hidup berupa tanda tanya.

/11/
Apakah benar itu umpatan
ketika terdengar ucapan,
Wahai, Perempuan,
kaulah kaum ringkih itu.

/12/
Selebihnya: senyap-sunyi semata.
Nuh bilang, kita harus membuat perahu.

Mimpi kita muntah: banjir besar itu
apa sudah direncanakan sejak lama?
Ambil beberapa huruf yang cekung,
agar kita semua bisa tertampung.

Persiapkan juga beberapa yang tegak
dan miring, dan sebuah titik.

Ke mana kita terbawa muntahan ini?
Susun dalam sebuah kalimat yang kedap air
agar kita bisa sampai ke sebuah bukit.

Mimpikah sebenarnya muntahan ini?
Agar kita bisa menelan masa lalu.


:Rendra

/1/
Senyap mengendap-endap dan hinggap
di ranting itu. Seekor burung mematuknya –
ia terdengar menyanyikan aroma pandan
sepanjang musim penghujan.

/2/
Seekor burung menukik dan hinggap
di ranting itu. Sunyi sembunyi di sayapnya –
terlelap di antara bulu-bulunya.

/3/
Senyap, burung, sunyi, dan juga hujan
melesat bersama aroma yang kebiru-biruan.

__________________________
Sapardi Djoko Damono dalam waktu dekat akan meluncurkan dua buku puisinya yang terbaru, Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita dan Namaku Sita, serta sebuah trilogi novelet.
Dijumput dari: http://oase.kompas.com/read/2012/06/04/10474938/Puisi-puisi.Sapardi.Djoko.Damono

Puisi-Puisi Taufiq Ismail

$
0
0
http://oase.kompas.com/
INDONESIA KERANJANG SAMPAH NIKOTIN

Indonesia adalah sorga luarbiasa ramah bagi perokok. Kalau klarifikasi sorga ditentukan oleh jumlah langit yang melapisinya. Maka negeri kita bagi maskapai rokok, sorga langit ketujuh klasifikasinya.

Indonesia adalah keranjang besar yang menampung semua sampah nikotin. Keranjang sampah nikotin luar biasa besarnya. Dari pinggir barat ke pinggir timur, jarak yang mesti ditempuh melintasi 3 zona waktu yaitu 8 jam naik pesawat jet, 10 hari kalau naik kapal laut, satu tahun kalau naik kuda Sumba, atau 5 tahun kalau saban hari naik kuda kepang Ponorogo.

Keranjang sampah ini luar biasa besarnya. Bukan saja sampah nikotin, tapi juga dibuangkan ke dalamnya berjenis cairan, serbuk, berbagai aroma dan warna, alkohol, heroin, kokain, sabu-sabu, ekstasi, dan marijuana, berbagai racun dan residu, erotisme dan vcd biru. Sebut saja semua variasi klasifikasi limbah dunia mulut Indonesia menganga menerimanya.

Semua itu, karena gerbang di halaman rumah kita terbuka luas, kita tergoda oleh materialisme dan disuap kapitalisme fikiran sehat kita kaku dan tangan kanan kiri terbelenggu dengan ramah dan sopan kiriman sampah itu diterima.

Di pintu depan bandara, karena urgennya modal mancanegara, karena tak tahan nikmatnya komisi dan upeti, dengan membungkuk-bungkuk kita berkata begini,

“Silahkan masuk semua, silakan. Monggo, monggo mlebet, dipun, sakecakaken. Sog asup sadayana, asup, asup. Ha lai ka talok, bahe banalah angku, bahe banalah.”

Keranjang sampah ini luar biasa kapasitasnya. Pedagang-pedagang nikotin yang dinegeri asalnya babak belur digebuki. Di pengadilan bermilyar dolar dendanya. Ketahuan penipunya dan telah memenuhi jutaan penghisapnya. Diusir terbirit-birit akhirnya berlarian ke dunia ketiga. Dan dengan rasa rendah diri luar biasa kita sambut mereka bersama-sama.

” Monggo, monggo den, linggih rumiyin. Ngersakaken menopo den bagus. Mpun, ngendiko mawon. Aih aih si aden, kasep pisan. Tos lami, sumping, di dieu, Indonesia? Alaa, ranca bana oto angku ko. Sabana rancak. Bao caronyo kami, supayo … ”

Demikian dengan rasa hormat yang lumayan berlebihan. Para pedagang nikotin dari negeri jauh di tepi langit sana. Penyebar penyakit rokok dan pencabut nyawa anak bangsanya. Terlibat pengadilan dan tertimbun bukti. Di negeri sendiri telah diusiri dan dimaki-maki. Ke dunia ketiga mereka melarikan diri. Pabrik-pabrik mereka ditutup di negeri sendiri. Lalu didirikan di Dunia Ketiga, termasuk negeri kita ini. Di depan hidung kita penyakit dipindah kesini. Dan untuk mereka kita hamparkan merahnya permadani. Lalu bangsa kita ditipu dengan gemerlapannya advertensi. Inilah nasib bangsa yang miskin dan pemerintah yang lemah. Semua bertumpu pada pemasukan uang sebagai orientasi.

2000 , 2002


PEROKOK ADALAH SERDADU BERANI MATI

Para perokok adalah pejuang gagah berani. Berada di dekat kawan-kawan saya perokok ini. Saya serasa berdampingan dengan rombongan serdadu berani mati. Veteran dua Perang Dunia, Perang Vietnam, Perang Revolusi Dan Perang Melawan Diri Sendiri.

Perhatikanlah upacara mereka menyala belerang berapi. Dengan khimadnya batang tembakau dihunus dan ditaruh antara dua jari. Dengan hormatnya Tuhan Sembilan Senti. Disisipkan antara dua bibir, digeser agak ke tepi. Sementara itu sudah siap An Naar, nyala api sebagai sesaji.

Hirupan pertama dilaksanakan penuh kasih sayang dan hati-hati. Kemudian dihembuskan asapnya, ke kanan atau ke kiri. Mata pun terpicing-picing tampak nikmat sekali. Berlindung pada adiksi dari tekanan hidup sehari-hari. Lena kerja, lupa politik, mana ingat anak dan isteri.

Para perokok adalah serdadu-serdadu gagah berani. Untuk kenikmatan 5 menit mereka tidak peduli 25 macam penyakit yang dengan gembira menanti-menanti. Saat untuk menerkam dari setiap penjuru dan sisi.

Paru-paru obstruksi kronik bronkhitis kronik dan emfisema. Gangguan jantung pembulu darah arteriosklerosis hipertensi dan gangguan pembulu darah otak. kanker rongga mulut, nasopharynx, oropharynx, hypopharynx dan rongga hidung. Lalu sinus paranasal, larynx, esophagus dan lambung. Radang pankreas, hati, ginjal, ureter dan kandung kemih. Radang cervix uteri dan sumsum tulang, infertilitas dan impotensi. Daftar ini belum disusun secara alfabetis, dan sebenarnya (ini rahasia profesi medis) penyakit yang 25 ini cuma nama samaran julukan pura-pura saja.

Nama aslinya penyakit rokok.

Rokok, abang kandung narkoba ini tak tertandingi dalam soal adiksi. 4000 macam racun didapatkan sepanjang sembilan senti. Untuk orgamus nikotin 5 menit itu serdadu tembakau ini mana peduli terhadap hari depan anak-anak yang masih memerlukan pencarian rezeki. Terhadap bagaimana terlantarnya kelak janda yang dulu namanya isteri. Atau nasib duda yang dulu namanya suami. Terhadap pengotoran udara depan belakang, kanan dan kiri. Dalam memuaskan ego, dengan sengaja mendestruksi diri pribadi.

Betapa beratnya memenangkan Perang Melawan Diri Sendiri.

2005
______________________________
Wikipedia menyebutkan: Taufiq Ismail gelar Datuk Panji Alam Khalifatullah, (lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935; umur 78 tahun), ialah seorang penyair dan sastrawan Indonesia. Taufiq Ismail lahir dari pasangan A. Gaffar Ismail (1911-1998) asal Banuhampu, Agam dan Sitti Nur Muhammad Nur (1914-1982) asal Pandai Sikek, Tanah Datar, Sumatera Barat.[1] Ayahnya adalah seorang ulama dan pendiri PERMI. Ia menghabiskan masa SD di Solo, Semarang, dan Yogyakarta, SMP di Bukittinggi, dan SMA di Pekalongan. Taufiq tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca. Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA. Dengan pilihan sendiri, ia menjadi dokter hewan dan ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis peternakan guna menafkahi cita-cita kesusastraannya. Ia tamat FKHP-UI Bogor pada 1963 tapi gagal punya usaha ternak yang dulu direncanakannya di sebuah pulau di Selat Malaka.

Kegiatan: Semasa kuliah aktif sebagai Aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII), Ketua Senat Mahasiswa FKHP-UI (1960-1961) dan WaKa Dewan Mahasiswa UI (1961-1962).

Di Bogor pernah jadi guru di SKP Pamekar dan SMA Regina Pacis, juga mengajar di IPB. Karena menandatangani Manifesto Kebudayaan, gagal melanjutkan studi manajemen peternakan di Florida (1964) dan dipecat sebagai dosen di Institut Pertanian Bogor. Ia menulis di berbagai media, jadi wartawan, salah seorang pendiri Horison (1966), ikut mendirikan DKJ dan jadi pimpinannya, Pj. Direktur TIM, Rektor LPKJ dan Manajer Hubungan Luar Unilever. Penerima beasiswa AFS International Scholarship, sejak 1958 aktif di AFS Indonesia, menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya, penyelenggara pertukaran pelajar antarbangsa yang selama 41 tahun (sejak 1957) telah mengirim 1700 siswa ke 15 negara dan menerima 1600 siswa asing di sini. Taufiq terpilih menjadi anggota Board of Trustees AFSIS di New York, 1974-1976.

Pengkategoriannya sebagai penyair Angkatan ’66 oleh Hans Bague Jassin merisaukannya, misalnya dia puas diri lantas proses penulisannya macet. Ia menulis buku kumpulan puisi, seperti Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Tirani, Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara Budaya:Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk, Ketika Kata Ketika Warna, Seulawah-Antologi Sastra Aceh, dan lain-lain.

Banyak puisinya dinyanyikan Himpunan Musik Bimbo, pimpinan Samsudin Hardjakusumah, atau sebaliknya ia menulis lirik buat mereka dalam kerja sama. Iapun menulis lirik buat Chrisye, Yan Antono (dinyanyikan Ahmad Albar) dan Ucok Harahap. Menurutnya kerja sama semacam ini penting agar jangkauan publik puisi lebih luas.

Taufiq sering membaca puisi di depan umum. Di luar negeri, ia telah baca puisi di berbagai festival dan acara sastra di 24 kota Asia, Australia, Amerika, Eropa, dan Afrika sejak 1970. Baginya, puisi baru ‘memperoleh tubuh yang lengkap’ jika setelah ditulis, dibaca di depan orang. Pada April 1993 ia membaca puisi tentang Syekh Yusuf dan Tuan Guru, para pejuang yang dibuang VOC ke Afrika Selatan tiga abad sebelumnya, di 3 tempat di Cape Town (1993), saat apartheid baru dibongkar. Pada Agustus 1994 membaca puisi tentang Laksamana Cheng Ho di masjid kampung kelahiran penjelajah samudra legendaris itu di Yunan, RRC, yang dibacakan juga terjemahan Mandarinnya oleh Chan Maw Yoh.

Bosan dengan kecenderungan puisi Indonesia yang terlalu serius, di awal 1970-an menggarap humor dalam puisinya. Sentuhan humor terasa terutama dalam puisi berkabar atau narasinya. Mungkin dalam hal ini tiada teman baginya di Indonesia. Antologi puisinya berjudul Rendez-Vous diterbitkan di Rusia dalam terjemahan Victor Pogadaev dan dengan ilustrasi oleh Aris Aziz dari Malaysia (Rendez-Vous. Puisi Pilihan Taufiq Ismail. Moskow: Humanitary, 2004.)

Penghargaan: Mendapat Anugerah Seni dari Pemerintah (1970), Cultural Visit Award dari Pemerintah Australia (1977), South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand (1994), Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994). Dua kali ia menjadi penyair tamu di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1971-1972 dan 1991-1992), lalu pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur (1993).

Bibliografi: Ismael, Taufiq (1995). Prahara Budaya:kilas-balik ofensif Lekra/PKI dkk.:kumpulan dokumen pergolakan sejarah (dalam bahasa Bahasa Indonesia). Bandung: Mizan dan H.U. Republika. hlm. 469. ISBN 979-433-064-7.
Taufiq Ismail. Vernite Mne Indoneziyu (Kembalikan Indonesia Padaku). Puisi Pilihan. Diselenggarakan dan diterjemahkan oleh Victor Pogadaev. Moskow: Klyuch-C, 2010, ISBN 978-5-93136-119-2

Catatan kaki: Harian Singgalang, Ketika Sastrawan Jadi Datuk, 30 Maret 2009
Sumber: Ismail,Taufiq. 2004. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Jakarta: Yayasan Indonesia.

Dijumput dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Taufiq_Ismail

Puisi-Puisi Aziz Abdul Gofar

$
0
0
http://sastra-indonesia.com
Pertanda Laut
buat emprit sawah

aku butuh ketemu denganmu
perempuan yang membawa pertanda laut
dalam tahun-tahun membentuk kita
dan menuruti hasrat memburu sesuatu
masih adakah sebuah tanda tak tersentuh
menyimpan rahasia tak terduga

perempuan yang membawa pertanda laut
gedung-gedung sekolah tersenyum putih
aku mengantarmu menaiki tangga kereta
lalu kutunggu di kaki-kaki dinding
membaca deru dari debu tanah lapang

kemudian kukirimkan isyarat laut
yang berjuntai di tubir jingga
kau sudah ngerti aku tak lagi
menghalau emprit-emprit sawah
menjaga ladang dan menelisik kabut
sesuatu telah terjadi dan orang-orang
datang dengan cerita yang sama

aku ingin mengantarmu
sejak dari kelok di tikungan
yang di kawal sekumpulan bambu
menggamitmu menyeberang kali berbatu
beberapa muncul aliran kecil
beberapa malam lepas tak terduga

aku selalu ingin mengikuti jejakmu
meloncati parit-parit dan bubu
yang akan kusampaikan pada
anak angin yang menyusup
ketika kata-kata sampai di depan pintu
ilalang di seberang sana itu perdu
membikin kata-kata menjadi tenang

aku masih ingin memandangimu mengetuk kaca
menunggu sejenak menelisik bunga di taman depan
kuharap ia bakal membikin kau ingat
dengan kalimat yang kuucap di malam pekat

aku selalu ingin memandang sebelum hilang
perempuan harum tanah sawah
tahun-tahun memenjarakan keberadaan
tadi siang adanya datang dalam mimpi

2008


Pelangi di Halaman Belakang
Sepanjang Ponorogo-Bandung

dan ini ombak kembali bertemu semenanjung/ dari tumpukan karang menjelma pantai tak berujung/ bara dan api memadam lautan mendung/ sebelum memburu suar dalam angin yang digulung/ dan kepada pelangi yang menjembatani pulauku dan pulaumu/ kepada penjaga anjungan yang memegang bendera kecil di atas perahu/ aku melipat seluruh malu menjadi segulung senyum tersipu/ lalu perjumpaan kembali seperti kabar burung di sayap angin/ tentang cerita lama yang kita titipkan pada kegaduhan/ padahal kita selalu memaksa zaman bergegas/ ataukah lensaku berembun dan ini zaman jalannya rabun/ beda apakah, selama kubangan berselisih hari/ kemarin aku tawarkan cara hidup serupa tanah/ dan bagaimanakah cara hidupmu yang serupa itu/ toh, anak-anak begitu cepat tumbuh dewasa/ dan kita masih asyik bercanda sebagai gembala

kepada mimpi-mimpikah rindu ini kita payungi/ kedatangannya selalu menjadi perihal tak terhentikan/ selama ini ia tak mengenal ketika/ dari gelisah yang gagal kita padamkan/ perjanjian kita untuk memupusnya melahirkan desau gerimis/ di manakah naungan teduh perlindungan kita saat berjauh/ rumbai atapnya luruh lalu terjatuh/ padahal sisa mendung masih bersembunyi di balik semak liar/ aku merasa takut jika ia datang dan segala jadi terbakar/ sebab rindu yang berkecamuk terlanjur tumbuh dan menjalar/ seperti mimpi yang datang sebelum pagi tadi/ ia selalu ngerti aku yang menyembunyikan rindu/ menatap lekat hingga aku merasa dekat/ dalam semarak malam kerinduan menemukan wajah kota/ yang timur adalah sunyi lembah dan ngarai telaga basah/ yang selatan adalah angin persawahan dan kaki perbukitan/ yang barat adalah suara hutan dan sejarah bebatuan/ yang utara adalah gemuruh gempita peradaban/ merangkum rindu menjadi pendar segala penjuru/ tetapi cuma dengan hati perempuan/ perempuan yang rindu/ aku rela membagi hatiku yang pula rindu/ dan aku cuma mencari pembenaran pada perempuan/ dalam gelepar ketika terlanjur tertawan/ah, mengapa rumah selalu berkeliaran/ di ladang-ladang rindu yang/ begitu jauh/ bersebab hati yang sendiri

di lantai tiga menerawang ke arah bandara/ kunang-kunang datang dan pergi/ selepas saja hingga pagi dini/ ini malam hampir merdeka/ dari redup temaram hotel bintang lima/ sejak kemarin aku ingin memberimu kabar/ ketika cicak membunuh kupu-kupu di dekat lampu/ aku ingin memberimu kabar ketika seorang kawan mengundang/ kemudian kubayangkan wajahmu di lampu-lampu jalan kota/ getaran damai sunyi/ merambat dari sudut-sudut trotoar tua/ sementara dalam ruang-ruang yang terpisah sepasang tangga/ mereka menggubah sepi dengan sengkala diam/ aku ingin memberi kabar padamu/ akan kuceritakan kali pertama bagaimana aku bertemu mereka/ juga tentang duri dan jalan-jalan berlobang yang luput tak terbaca/ sambil kupautkan arah pandang dari lantai dua/ terasa bara menguap membelah udara malam/ menyebar lewat mata lalu berjatuhan di bibir sunyi/ sebelum aku memutuskan menaiki tangga kembali/ aku urung memberi kabar padamu/ tidak pula pada bunga-bunga dan anggur/ juga pada rembulan kota

lalu adamu dan mereka tak pernah lalai mengunjungiku/ datang dan pergi dalam sengkala kesadaranku/ silih berganti menjadi seribu petisi/ adamu dan mereka tak meracun dan sungguh ada/ aku juga setia membawa cawannya/ setetes demi setetes sampai bilah dadaku/ aku masih setia membawa cawan juga penala/ mereka semakin mengada selama/ kujaga dalam jamur-jamur di kepalaku/ aku tidak akan menyesal dengan alunan kota ini/ biar serupa angin gunung yang sesekali menyapa ngarai/ ranumnya membelai rumput-rumput dan hutan jati/ akan ada nama-nama dan macam kota-kota lain/ di ini kota mimpi memberikan nama yang elok/ menjagai dengan manis dan mendongengkan/ hari esok yang penuh rahasia nyanyi malam

Ponorogo – Bandung 2007
Dijumput dari:  http://sastra-indonesia.com/2013/10/puisi-puisi-aziz-abdul-gofar/

Teruntuk Sang Pejalan Kata (Nurel Javissyarqi)

$
0
0
Awalludin GD Mualif
sastra-indonesia.com

I
Sebut namanya Nur bersambung Rel
Pencari relung-relung terdalam kata
Pemungut serpihan-serpihan masa
Perangkai bunga-bunga bahasa
Ketakutan sewujud mitos baginya
Bersandar keyakinan mencoba menjinakan bahasa berkelindan kemabukan
Nafasnya melantunkan tikaman-tikaman gelisah
Menggeliyat saat pandang mata menatap beda sebuah peristiwa
Nur mewujud Rel memangku gerbong-gerbong tua berisi tumpukan makna
Dibawahnya beranjak dari stasiun jiwa mengkoyak pandir nalaria semesta,
Hingga terhamparlah pada lembaran-lembaran bernada tanya
Menggemalah nada sumbang bagi jiwa-jiwa bimbang
Rel menjadi Nur menghantar para musafir kata
Dari alam kesunyian menggelapkan jumawa ke pelimbahan sepi mengasyikan
Ia senantiasa resah dalam jalanya
Meski jalanan masihlah sama
Menurun di hilir penuh warna
Nur ialah Rel
Lilin panjang di tengah sorotan lampu-lampu kota.

II
Rambut ikal mengelombang gugur teriris kasih belaian jiwa
Mengayuh hidup memecah sepi
Tungku dapur tua berasap, masihlah terjaga
Melarut di mimpi-mimpi yang tak lagi nyata.

III
Terlihat jutaan kata, bahkan lebih terpampang di alam fana
Sedikit rasa memetiknya, menurun dalam gelaran makna
Bukan kata yang memakna, jiwalah penuntunya
Para pejalan terus berjalan di jalur jalan kata.

IV
Oh......sangkakala kata yang mengkoyak batu cadas kehidupan manusia
Menjejal diantara kebekuan nalar
Memberi cahaya di gelap jiwa, menghempaskan gulita
Kata adalah cahaya.

V
Bila putaran roda waktu berhenti di garis sejarah
Kata tetap berputar pada porosnya
Sang pejalan kata bukanlah parade badut
Ia lah pembawa obor cahaya
Membaginya secercah, menerangkan dunia
Membawa kabar-kabar keabadian.

VI
Di setiap jejakan waktu
Pejalan kata tumbuh berganti masa
Menelusupkan cahaya melewati aliran darah manusia
Semesta menerima nuansa
Dendang Sesal Pada Sunyi.

VII
Aku melihat ia iba pada selembar bulu yang koyak
Tetapi lupa pada burung yang sekarat
Karena terbiasa mencium tangan sang tuan
Yang memasung jiwa
Kodrat jiwa sejati dihempaskannya dalam lubang kelam.

VIII
Pahlawan mematung di lingkaran tragedi
Mengembus nafas akhir di atas gelanggang
Bukanlah nyata korban kesengsaraan, yang terperosok perlahan
Ke haribahan maut
Dalam kesunyian penjara jiwa.

IX
Kalam masih menghamba alam
Lihatlah jalannya fajar menjemput subuh
Para malaikat turun membawa salam
Kerumunan semesta melimpah di lautan asa
Ya Allah...

X
Wahai Nur ...
Butiran debu menyatu pada setiap dinding jiwamu
Kasat mata tak lagi melihatnya
Atau, melihat yang tak terlihat
Lalu kirab kejumuddan dipertontonkan
Bukanlah warna yang sesungguhnya.

XI
Dukanya duka sekalian mahluk
Melumpuh daya mengeja peristiwa
Memusat pada ruang hampa
Diam jugalah kata-kata
Derunya menyayat-nyayat jiwa.

XII
Aku kan tegak meski hati melayu
Mencari sisa-sisa daya yang tak kutahu,
Seketika membuta
Ingin pergi darinya pada saat malam
Namun gelap menyekap naluria.

XIII
Nurel menghilang di padang terang
Silau cahayanya tak kunjung musnah
Kini tak terlihat lagi jejakan cerita lalu
Kekosongan melanda merayu-rayu
Ialah kisah tanpa sang pencerita.

Puisi Muhammad Rain

$
0
0
HIJRAH KALBU

Orang-orang yang mengarungi perjalanannya untuk semata menuju Allah
Mendapat hidayah lewat cahaya ketika ikhlas menghadapkan wajah padaNya
Bila dalam melintasi perjalanan waktu ia tersesat
Terlalu mengandalkan diri serta lupa berserah diri
Hilanglah bijaksana pupuslah cahaya dari wajahnya

Sebab kerap enggan bersujud
Menjauhi perangai yang takjub
Kepada Yang Maha Kuasa lagi Maha Mampu
Membalik ketinggian menuju kejatuhan

Orang-orang yang terlepas janji dan sumpahnya
Tak lagi setia kepada tanggung jawab dan merusak kepercayaan
Ialah mereka yang memutuskan rezeki dari keberkahan
Melupakan kekuasaan hanya semata titipan
Kepada mereka seluruh cahaya kalbunya ditutupi oleh cela
Susah menghadap diri pada sinaran cahaya sujudnya

Orang-orang terlalu takut dunia tak dikalahkannya
Adalah bagian dari kesia-siaan semata
Atas apapun pencapaian
Terhadap berbagai kehormatan sekedar tempelan
Kepada mereka yang lupa diri
Menjadi korban kesombongan dan arogan diri sendiri
Tangannya sukar berbagi
Kelemahannya kerap ditutupi
Dengan pamer jabatan dan gelimangan harta

Berdirilah dalam hujan cacian
Kuncuplah bunga-bunga kemegahan
Warna dan upaya memekarkan kekhilafan
Terus menjadi kesia-siaan

Tetapi tetaplah selalu percaya
Pintu hijrah selalu terbuka
Padamkan api melintasi zaman persaingan
Siram dengan menebar kebaikan dan keinsyafan
Segalanya hanyalah titipan

Di pintu hijrah ketuklah pertaubatan
Sebab senantiasa terbuka lebar maaf dan ampunan
Meskipun bergunung dan selautan dosa serta penyesalan
Pasrahkan dan camkan jangan mengulang
Sebelum bertemu maut yang lekat dan akrab
Masih ada kesempatan mengambil insaf
Teras para aulia langkahlah ke sana
Belajar dan dekati pintu-pintu mesjid
Demi membersihkan segala keji di lubuk hati.

Aceh, 10 Oktober 2017
http://sastra-indonesia.com/2017/10/puisi-muhammad-rain/

Puisi-Puisi Yusri Fajar

$
0
0
padmagz.com 27 Sep 2016

Memori dari Kopermu
Buat NS di London

Kurasakan juga gigil puisimu
setelah roda pesawat mencuri butiran salju
dari landasan bandara Heathrow
lalu membawamu terbang menuju kotamu
yang masih tergenang.

Aku menemukan memori dari kopermu.

catatan yang tak beku
seperti sungai di depan London Eye,
perasaan yang tak tersekap
seperti para penari penghibur di dekat Travel Lodge King Cross
naluri yang tak terkunci
seperti panggung theatre shakepeare.

Kurasakan juga gigil puisimu
Setelah sarung tanganmu kau lepas
Lalu kau lahirkan puisi dari ziarahmu
Mirip telur-telur yang menetas


Gare De L’Est

Di atas beranda (stasiun) Gare De L’Est
Lelaki dan perempuan telanjang dada
mematung di atas jam melingkar
dicakar hembusan angin dingin
diteropong pelancong bermata kosong

Botol-botol anggur digantung
Di plafon besi melengkung
menyambut murung

Pelancong meninggalkan Napoleon
mematikan neon kamar Monalisa
menyimpan tulisan Sartre di Café de Flore
mengenang kepayang di tangga Eifel
melambaikan kata pulang
dengan bibir terpaut
dan kedua tangan mekar
di jendela kereta

Paris Metro, 2010


Mata Piza Roma

Kursi berlukis romawi satu meja kaca
Memantulkan mata dua pizza
yang menatap mata kita.

Roma termini digedor-gedor sejoli
Basilica dipenuhi para pendoa
Kita masih di kedai ini
Berhenti di tengah lingkaran pizza
Penuh jamur dan rindu yang tak kendur
Sayatan tuna dan gairah yang tak musnah
Siraman bayam dan genggaman yang tak terpisahkan
potongan tipis sosis dan langkah romantis yang tak terkikis
dan Dua gelas capucino bergambar Umberto Eco
serta dua senyum manis

Roma, 2010


Nara

Di gang-gang kecil kota Nara
kau hilang dalam huruf-huruf kanji

Deretan Nihon Minkaen, rumah ciptaan leluhurmu
membungkukkan genting-genting indahnya
menghormat pada tatapan matamu.

Kayu dan bambu di dinding dan jendelanya tahu
kau memang ayu.

Jadikah menjelang senja ini
kau menemui lelaki dari ufuk timur
di rumah sastrawan Shiga Naoya
di tepi taman nasional Nara
yang dihias kijang-kijang berlarian
karena digoda anak-anak Jepang?

Mungkin kau perlu mengajaknya juga
duduk di atas Ukimido Gazebo
sambil melihat bayang-bayang rindu dipantulkan air
yang dipenuhi pantulan daun-daun sakura
yang telah menghijau. Andai ia datang di musim semi sebulan
yang lalu di kota Nara, ia pasti menyematkan kembang sakura
di dahan-dahan hatimu yang tak lelah menunggu.

Nara-Jepang, 2012


Pada Kereta

Kursi-kursi bertapa dalam gerbong tempat orang-orang menerka masa

Sejak persinggahan hingga menjelang ladang-ladang dari balik jendela tembus mata. Segenap hati memanggil berjuta pertemuan pada hari ketika orang bermimpi menggapai kekasih, harapan, situs-situs sejarah, asa, berbagai undangan dan perjanjian.

Gerbong-gerbong bergandengan membawa serta putus asa, jiwa tegar dan kata-kata hampa. Pada gelas-gelas berisi bir beberapa jiwa menggantungkan kesumat dan kebahagiaan. Sekuntum mawar dalam genggaman menunggu stasiun pemberhentian saat para penjemput merekahkan tangan melihat langit menggapai penantian bergegas menumpahkan rindu melepas pesan di batas-batas kota.

Peluit meninggalkan sakit para kekasih tertinggal dalam kesepian
Kota-kota terlindas kenangan memahat frasa selamat jalan dan selamat tinggal

Frankfurt-Nuemberg, Jerman ICE 25, 30 September 2008


Senja di Malaka

Mata bertemu senja di Malaka
mengenang kejayaan Eropa
dalam gereja tua, pusat pertokoan lama
dan tugu tempat orang-orang melabuhkan rindu

Gedung-gedung ratusan tahun mendengung
memantulkan bayang orang-orang berambut pirang
mencumbu Melayu dengan perahu

Senja di Malaka mega jingga berderai
dalam aliran anak sungai
wajah-wajah menggugah sejarah
kenangan sepanjang jalan penjajahan
dalam keriuhan dan kesepian

Malaka, 5 Juni 2011

http://padmagz.com/2376-2/

Puisi-Puisi Rachmat Djoko Pradopo

$
0
0
SUMBAWA
kepada Umbu Landu

kudengar ringkik kudamu, padang rumput
pegunungan gersang dan kesunyian
inilah setitik air mata dan senyum
di sudut tanah yang mengerang

orang-orang telah memasang jalan rata
lurus dan panjang
tapi pedatimu masih tersuruk-suruk
di jalan sempit berlubang
orang-orang telah membentang lapangan
terbang
tapi kau cuma bisa memandang jet dari jauhan

mungkin cuma kehijauan padang rumput
bisa kaupasang dalam senyum dan kenangan
tapi matahari kemarau terbaring di tanah kering
dan di atas punggung nasib anak negeri
yang lusuh sepanjang zaman

16 Agustus 1967


PASAR KEMBANG

di sini perempuan-perempuan menggadaikan
kemaluannya
tanpa bisa menebus kembali
sanggupkah kau menebuskannya?
kau pasti berpikir: aneh!
tapi itulah kenyataan
barangkali jalan Pasar Kembang
akan kian bertambah panjang
dan kian meluas arealnya
dan akan bertambah ratusan bahkan
ribuan perempuan-perempuan menggadaikan
kemaluannya
dan tanpa bisa menebus kembali
sampai kempis nafasnya berhenti

15 Juli 1990

(sumber: buku AUBADE karya Rachmat Djoko Pradopo, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cetakan 1, September 1999) https://budhisetyawan.wordpress.com/2007/12/25/puisi-puisi-rachmat-djoko-pradopo/

Puisi-Puisi Sihar Ramses Simatupang

$
0
0
jendelasastra.com
NARASI SENJA MENGHILANG 

"biarkanlah aku menjadi senja yang akan memucat setiap kau tutup jendela".
sebab senja adalah kematian yang manis. epilog bagi kelelawar dan derit engsel jendela untuk mencabut cerita yang sudah tidak bermakna. 

"biarkanlah aku menjadi senja yang akan menghilang saat engkau menutup mata. sebab senja adalah penghabisan yang manis. ujung dari notasi
kesenduan yang masih terdengar dari kebungkaman seribu makam.


Jakarta, Mei 2002



SISA DUKA DI SENJA ITU
: buat si non

dan airmatamu yang telah menjelma hujan barangkali akan kering pada perjalanan musim. untuk sementara, beberapa bunga yang telah ku tebarkan pada tubuhmu masih melayu dalam sejarah kita.
fajar yang masih terjaga, embun-embun terus melekat, tetap pada cuping telingamu. tapi engkau tak merasakannya. seperti kebingungan batu, pada cinta dan masa lalu.
engkau yang masih terdiam di tanah itu, berpayung hitam dan sibuk memberikan airmata pada para pelayat yang belum beranjak pergi. malam masih terasa dingin, belum layak menghadirkan kicau burung buat cerita lain di pagi hari.
: aku masih terpekur di rerimbunan ilalang. sibuk memunguti airmatamu yang terselip di atas tanah itu. barangkali, engkau akan menerimanya.
(atau mengenangnya sebagai sebuah cenderamata buat bekal perjalanan kita di esok harinya).
In memoriam, 2002



REPORTOAR 
"semuanya sudah berakhir"

seperti kematian yang menggerogot tubuh kita
tulang ini akan kembali jua pada kata-kata terakhir
aku sangsai dalam perputaran roda waktu yang tak pasti.

lamat, aku mendengar sejarah
seperti putaran roda yang berjalan menuju pembakaran
inikah rumah sakit
ataukah kita sedang berjalan
menuju kepompong mayat-mayat?

"tak usah lagi saling memikirkan"

kota-kota hanyalah sebuah etalase mengerikan
bila kita merenunginya dalam sebuah kamar
kita bertambah tua.
cuma dongengan masa kecil yang mengalir di nadi kita.

aku benci dengan masa lalu
namun sesuatu selalu yang pecah dari dalam dadaku
tak akan pernah terbingkai lagi
seperti rekahan tanah liat yang dibawa menuju
aliran sungai yang tak berujung.

"dunia hanyalah dongeng-dongeng"

barangkali cerita pun percuma buat menghadirkan sejarah
makam kita pun belum tentu juga menghasilkan
kesaksian-kesaksian.
barangkali tak akan pernah ada makna dalam deretan
kata-kata di nisan.

"siapakah yang punya kesedihan?"

aku mengalir, dengan airmata yang kusimpan.
atau menutupnya rapat-rapat.
memendam kegetiran pada sejarah
dengan waktu yang membiru serupa dendam.

pada pucuk-pucuk masa depan,
aku mengembara
dengan ribuan kegilaan yang masih teracung.
Jakarta, awal 2002



PEJALAN KAKI DI SEBUAH PULAU
perempuan itu telah tertidur di sampingku.
tapi bukan raganya,
sebab aku hanya menari di samping jiwanya
dalam kemabukan, sebelum fajar datang
dan matahari merampok jadi mimpi-mimpi panjang.

laut malam di laut pulau jawa, aku menggelepar
sangsai. lelah mataku terbang, dari tidur satu
ke pucuk-pucuk mimpinya. di antara lekuk tubuhnya
yang putih bagaikan pualam. engkau tak lagi nyata
di mimpi ini.

aku tahu, engkau juga akan menghilang
seakan tubuhmu telah siap kau persembahkan
buat pejantan lain yang sejarahnya tak pernah
aku kenal.

tubuhku sesak, pemabuk yang menghindar dari
keterjagaan. sebab kesadaranku hanyalah kesedihan.
dari pantai ke pantai, terus kubentuk jiwanya
tapi misteri tubuhnya barangkali
tak lagi pernah bisa aku terima.
Surabaya, Awal 2002



SEBUAH BINGKAI TENTANGMU
: valentine

masihkah engkau ingat perjalanan itu
pada perjalanan kita, di antara kenangan malioboro
dan pantai parangtritis. kita mereguk malam.
mabuk cinta sepuasnya.

engkau pun menatap selembar daun. yang jatuh
dan terbawa air selokan.
"akh, engkau tak akan berlalu.
tak seperti daun itu" katamu.

namun siapa tahu. bila kita lebih rapuh,
bahkan bila dibandingkan daun. atau air selokan itu.

kita kemudian asing. larut dalam sejarah baru.
atau beranak pinak, atau tersesat dalam pengembaraan
: waktu kemudian jadi asing 
misteri yang jadi kenyataan,
kau yang pergi,
dalam sebuah pengembaraan tak bertuan.

:engkau serasa tak kukenal!
Jakarta, Februari 2002



SEBUAH ODE BUAT KAWAN
Masih ada lagu-lagu senja yang membuatku muram
bercerita tentang sejarah perjalanan kita
ada aku dan engkau di mata sejarah
di antara lantunan sunyi seruling
di atas batu-batu yang mencakar dadaku
dalam sebuah almanak perjanjian
dalam peta-peta tua
yang kemudian kita itu kita namakan sebagai detik perjuangan.

ada tangis bocah yang menjerit lirih
di antara ladang-ladang sembako dan susu gula
engkau tersenyum
dengan api keringat yang telah menjadi jelaga dari asap
cerobong pabrik
kemarin lalu, di saat kau berteriak, turunkan harga, turunkan

kesunyian juga yang kini meraja di pembaringan kita
saat bulir-bulir padi ini sudah tak layak untuk dipanen
hanya kulitnya, seperti tulang kita yang rapuh
oleh kulit-kulit terkoyak
kuku matahari yang tajam mencakari tanah.
sebuah ode, belumlah cukup untuk disimpan hari ini.
Depok, 2001

____________
Sihar Ramses Sakti Simatupang. Kelahiran Jakarta, 1 Oktober 1974. Pernah bergabung di Teater Puska dan Teater Gapus di Surabaya dan Komunitas Seni Tanah Depok. Karya antologi puisnya antara lain Upacara Menjadi Tanah (Gapus, 1996), Adakah Hujan Lewat Di Situ (Gapus, 1996), Keberangkatan (KSTD, 2002), Antologi Puisi Digital Cyberpuitika (YMS, 2002) dan Antologi Lampung Kenangan “Krakatau Award” (Dewan Kesenian Lampung, 2002) dan "Dian Sastro for President" (Terbitan ON/OFF Yogyakarta, 2002). Salah satu cerpennya dibukukan bersama penulis lain pada antologi Tak Ada Pilihan Lain (Sumbu, 1998). 
Menamatkan studi di Fakultas Sastra Universitas Airlangga. Ikut baca puisi demonstrasi sejak awal menjadi mahasiswa di Surabaya hingga selesai. Tulisannya berupa essei, cerpen dan puisi pernah dimuat antara lain di majalah kampus Suara Airlangga Unair, Gatra F. Sastra Unair, majalah Amigos dan Dedicatio. Pernah memenangkan Pekan Seni Mahasiswa Regional juara II Jawa Timur tahun 1995. Karyanya berupa esai, cerpen dan puisi juga dimuat di harian umum Jawa Pos, Surabaya Post, Warta Kota, Memorandum, Karya Darma, Pos Kota, Sinar Harapan, majalah Plot, Radio Nederland dan Trans-TV. Karyanya termuat di situs sastra antara lain www.cybersastra.com dan www.poeticallyspeaking.net. Penulis saat ini sebagai wartawan budaya di Harian Umum Sore Sinar Harapan

Puisi-Puisi Eka Budianta

$
0
0
Jendelasastra.com
SEEKOR BURUNG CAMAR

hari pertama:
di dalam sangkarnya besi
burung itu bernyanyi dalam hati
sambil menanti
kekasihnya sebentar lagi
membukakan pintu
lalu mengajaknya terbang
tinggi-tinggi

hari kedua:
di dalam sangkarnya yang kuat
burung itu ingin berkhalwat
mohon ampun atas segala dosa
dan berdoa sekhusuk dapat

hari ketiga:
di dalam sangkarnya yang kukuh
ia merasa tak perlu mengeluh
sebab tanah terjanjinya terasa
tiada terlalu jauh

1976



ODE UNTUK GOYA

Goya telah pergi
ke lembah asing dan gua-gua
Goya telah pergi
jauh menuju bapanya

Goya telah pergi
mengembara di padang-padang sunyi
Goya telah jauh
tinggal jejaknya yang abadi

1977



PANTAI KOTA DI MALAM HARI

pelabuhan itu kelihatan
sayup-sayup dan sunyi
ketika sinar matanya yang rindu
dan penuh pengharapan
memandangnya dengan cahaya
lampu sepasang kunang-kunang

1976



JAKARTA 1977

di bawah silang-silang kebosanan
tubuhku terlentang menghindari gemuruhmu
deru jeram yang akhirnya tak usah kurisaukan
adalah bising nadimu



VILLA VIOLETA

aku tidak lagi merasa berjalan di bawah bulan
melintasi lapangan mencumbu seorang perempuan
tapi sendiri di antara barisan pohon kenari
kala lampu-lampu kota sayup-sayup memanggil sunyi

di beranda rumah kecil yang jauh
seorang kapten berbincang dengan tamunya
danau di hatiku terasa teduh
dua bait puisi meluncur di atasnya

Bogor, 14 Nop 1977



SELINGAN

selembar langit usang
berkaca di wajah danau tua
sejenak bergoyang-goyang
daun kecil gugur mengusik diamnya
sekuntum teratai mekar di hati
layu terkulai
tiada kusadari

1975

___________ 
Eka Budianta lahir 1 Februari 1956 di Ngimbang, Jawa Timur. Memulai karir sebagai penyair dan wartawan sejak 1975. Dia salah satu tokoh penyair Indonesia. Setelah lulus SMA di Malang, melanjutkan kuliah ke Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta yang kini dikenal Institut Kesenian Jakarta, tetapi tidak menyelesaikan studinya. Dari tahun 1975-1979, mempelajari sastra Jepang di Departemen Studi Asia Timur Sastra, kemudian berubah ke Departemen Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Belajar jurnalisme di Los Angeles Trade-Technical College di Amerika Serikat 1980-1981. Setelah bekerja sebagai reporter Tempo majalah berita mingguan dan surat kabar Jepang, Yomiuri Shimbun, dan setelah beberapa waktu di AS bekerja untuk BBC di London, di mana dia saat itu berada. Dia mendapatkan tanda Kehormatan Fellow dan menulis di Universitas Iowa tahun 1987, dan Fulbright Visiting Scholar di Cornell University, Ithaca di tahun 1990. Menerbitkan koleksi puisi pertamanya, Ada (Ada Apakah), tahun 1976. Sejak saat itu telah menerbitkan beberapa buku lagi, termasuk Bang Bang Tut (Bang Bang Toot!), Bel (Bell), Rel (Rail), Sabda bersahut Sabda (Friend to Friend), Sejuta Milyar Satu (a million one) dan Lautan Cinta (Sea of Love). Tahun 2002, Eka Budianta karya Pohon dan Istrinya (The tree and his wife) diakui bersama dengan karya-karya12 penulis lain oleh surat kabar harian Kompas, dan termasuk dalam publikasi tahunan yang menampilkan pilihan cerita pendek.

Puisi-Puisi Suci Ayu Latifah

$
0
0
Narasi Pucuk Rindu
: Ayah

ayah, tiadakah kau tahu, ketika malam tiba
rasa dingin mengoyak tubuhku
menjalar ke langit-langit rindu, memenuhi ruang kasih

ayah, lihatlah
begitu riang bulan purnama malam ini
sinar terang berbalut suka, berkejaran bersama bintang-bintang
mereka begitu gembira, Ayah
senandungnya renyah, menusuk jiwa gersang ini
ayah, desir angin bulan purnama serupa dekapanmu
meleburkan hasrat jiwa, mendekat di antara dentuman waktu
dan kulihat, senyum purnama masih merekah
menyimpan seberkas cahya, nyaris sulit ku lupa
ayah, di bawah kesaksian
bulan purnama;
bintang berkejaran;
desir angin malam, aku berdzikir
berteman dingin malam kusebut namamu erat
dalam sepi malam, menusuk jiwa

Ponorogo, 9 Januari 2017


Cerita Hujan

tik… tik… tik… tik…
manakala hujan menyapu rumah
ada cerita lama tentang kerinduan mendera
nyanyian hujan, baru saja terlewati bersamamu
ketika di bawah rindangnya pohon jambu;
di bibir jembatan malam sabtu;
di antara ribuan rasa, sulit kupadu
engkau bercerita tentang hujan yang membawa daging-daging manusia
engkau bercerita tentang hujan yang melarikan jiwa
dan terakhir kali, engkau bercerita tentang hujan
hujan yang membawamu lari dari kenyataan
namun, ini kali aku bercerita
tentang hujan-hujan yang membunuh jiwa
antara dekapan semu atau nyata

Ponorogo, 9 Januari 2017

https://duta.co/puisi-puisi-suci-ayu-latifah/

Puisi-Puisi Zehan Zareez

$
0
0
HITAM_PUTIH

Di tengah persimpangan itu aku temui kebimbangan...
Dimana mainan sudah tak lagi jadi keputusan
Ku terdiam di tengah dukungan
Entah ke kiri atau ke kanan
Keduanya seolah memberiku segudang terang dalam harapan

Hai...kemari...sambut nurani
Jangan!!..sini kawan..cegah sang penimang dengan halus lantunan
Tak peduli ku tak mungkin
Peduli ku bimbang
Tak ingin ku terlarut dalam simpang hitam – putih
Yang enggan buka lisanku tuk berkata sesuatu yang pasti
Antara hitam dan putih
Sama – sama punya tujuan beri warna dalam kehidupan
Andai ada jalan buat mereka tuk bersatu
Merubah langkah dengan warna hidup baru
Pasti indah..........
Sejenak ku toleh seberkas mainan usang
Yang dulu selalu temaniku dalam keraguan
Tapi,kini saatnya jati diri yang berbicara
Biarkan pintu itu menutup jalan mereka tuk ubah sang indah
Sokongan kuat bambu kuning dalam tekat
Tuk melangkah hampiri sambutan nurani
Dengan menggandeng setumpuk petuah sang penimang
Biarkan sang putih tidak selamanya menjadi lambang kesucian
Pula sang hitam...
Yang tak selamanya terbebani dengan gelar kebejadan
Mungkin hanya kata "maaf"...yang terucap atas ketidaksopanan.



KAWULA MUDA

Bosan aku dengan kata ingus
Jenuh pula dengan timang
Pun dongeng,,,
Ku anggap semuanya hangus
Ingin kucapai nirwana itu
Kepuasan dimana terdapat kesempurnaan
Dalam rona yang tak kan henti berputar
Ku tahu semua sukar
Bila hanya berharap akan datang satu keajaiban
Ku tahu semua sulit
Bila hanya berfikir dengan hayal yang terjepit
Meski ku hanya punya ambisi
Tuk ubah hidup lebih punya arti
Walau nirwana di ujung sana
Kan ku sebrang dengan dayung kulana
Kesempurnan yang bermodal ego
Dan harga diri yang diatas segala-galanya
Membuat para kawula berbusuk merengkuhnya
Kepuasan dengan nurani yang terpenjara
Membuat para muda bersaing ubah segalanya
Tak kenal iba...
Bahkan tak berbenak sedikitpun kata kalah
Terbaur dengan marak suasana yang entah bagaimana
Ku terselam didalam
Terselubung ombak bermuka kelam
Ku hanya berbekal pelampung disaku belakang
Dari buangan amarah maha guru
Yang kuharap...
Bisa memungutku dalam lubang suram itu
Akankah dengan berkah amarah ku bisa capai kata sempurna
Dengan cuapan murka tak bermakna
Sambil pencarian terang
Akan jalan yang bisa membawaku
Dalam cipta maha jiwa.
Viewing all 109 articles
Browse latest View live